Kompas, Sabtu, 16 Agustus 2008 00:22 WIB
Rikard Bagun
Rikard Bagun
Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.
Semangat keberpihakan kepada kaum miskin itu antara lain ditegaskan Fernando Lugo Mendez dalam wawancara khusus dengan wartawan Kompas, Kamis (14/8) di Rumah Induk Sociedad del Verbo Divino (SVD) di Asuncion, Paraguay, sehari sebelum pelantikannya menjadi presiden.
Malam sebelumnya mantan uskup itu membuat beberapa orang terperangah. Tidak lama setelah tiba di rumah pribadi milik keluarga di pinggiran Asuncion, Lugo bergegas meminta rekan dekatnya dalam gerakan sosial, Martin Bhisu asal Flores, Nusa Tenggara Timur, yang sudah menunggu lama, untuk cepat-cepat ke Rumah Induk SVD.
Tanpa pengawalan apa pun, Lugo menumpang mobil setengah pick-up, kendaraan operasional Martin Bhisu, menjelang tengah malam itu. Di samping Martin, duduk tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, sementara Lugo duduk di belakang bersama Kompas dalam perjalanan sekitar 40 menit itu.
Terasa sedikit tegang karena ”nasib” pemimpin yang sedang populer di Amerika Latin itu berada di tangan tiga orang Indonesia. ”Aduh, kalau terjadi apa-apa,” terdengar suara bergumam setengah kecut.
Kamar tidur Lugo di Rumah Induk SVD kebetulan pula berdampingan dengan Martin Bhisu dan kamar Kompas, bahkan berhadapan langsung dengan kamar penginapan Budiman.
Sama sekali tidak terlihat petugas keamanan khusus ketika Lugo berada di Rumah Induk SVD, tempat yang sering diinapinya sekalipun sudah terpilih menjadi presiden, April lalu. Kamarnya sangat sederhana, dengan tempat tidur kayu yang ditutupi busa tipis.
Kesederhanaan Lugo juga terlihat pada rumah kediaman yang dihibahkan keluarganya di pinggiran Asuncion, kota berpenduduk sekitar 600.000 jiwa itu.
Dalam rumah berukuran 70 meter persegi itu tidak terlihat perabot baru. Kursi-kursi serba usang lebih menunjukkan semangat asketik pemiliknya.
Dalam wawancara di Rumah Induk SVD di pinggiran Asuncion, kota indah dan sejuk, Lugo didampingi Martin Bhisu, sekretaris pribadinya saat masih menjadi uskup. Martin yang mengikuti kiprah dan pemikiran Lugo mengatakan bahwa tokoh pergerakan itu mengetahui Pancasila dan ajaran Soekarno, yang antara lain menekankan keadilan sosial dan kedaulatan bangsa yang kini sedang diperjuangkan secara nyata di Paraguay dan kebanyakan negara Amerika Latin.
Sesekali dalam wawancara itu tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, terlibat dalam pembicaraan dengan Lugo tentang gerakan sosial dan politik progresif di Amerika Latin, termasuk kemungkinan pengaruhnya ke Asia dan Afrika.
Berikut hasil wawancara dengan Lugo.
Malam sebelumnya mantan uskup itu membuat beberapa orang terperangah. Tidak lama setelah tiba di rumah pribadi milik keluarga di pinggiran Asuncion, Lugo bergegas meminta rekan dekatnya dalam gerakan sosial, Martin Bhisu asal Flores, Nusa Tenggara Timur, yang sudah menunggu lama, untuk cepat-cepat ke Rumah Induk SVD.
Tanpa pengawalan apa pun, Lugo menumpang mobil setengah pick-up, kendaraan operasional Martin Bhisu, menjelang tengah malam itu. Di samping Martin, duduk tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, sementara Lugo duduk di belakang bersama Kompas dalam perjalanan sekitar 40 menit itu.
Terasa sedikit tegang karena ”nasib” pemimpin yang sedang populer di Amerika Latin itu berada di tangan tiga orang Indonesia. ”Aduh, kalau terjadi apa-apa,” terdengar suara bergumam setengah kecut.
Kamar tidur Lugo di Rumah Induk SVD kebetulan pula berdampingan dengan Martin Bhisu dan kamar Kompas, bahkan berhadapan langsung dengan kamar penginapan Budiman.
Sama sekali tidak terlihat petugas keamanan khusus ketika Lugo berada di Rumah Induk SVD, tempat yang sering diinapinya sekalipun sudah terpilih menjadi presiden, April lalu. Kamarnya sangat sederhana, dengan tempat tidur kayu yang ditutupi busa tipis.
Kesederhanaan Lugo juga terlihat pada rumah kediaman yang dihibahkan keluarganya di pinggiran Asuncion, kota berpenduduk sekitar 600.000 jiwa itu.
Dalam rumah berukuran 70 meter persegi itu tidak terlihat perabot baru. Kursi-kursi serba usang lebih menunjukkan semangat asketik pemiliknya.
Dalam wawancara di Rumah Induk SVD di pinggiran Asuncion, kota indah dan sejuk, Lugo didampingi Martin Bhisu, sekretaris pribadinya saat masih menjadi uskup. Martin yang mengikuti kiprah dan pemikiran Lugo mengatakan bahwa tokoh pergerakan itu mengetahui Pancasila dan ajaran Soekarno, yang antara lain menekankan keadilan sosial dan kedaulatan bangsa yang kini sedang diperjuangkan secara nyata di Paraguay dan kebanyakan negara Amerika Latin.
Sesekali dalam wawancara itu tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, terlibat dalam pembicaraan dengan Lugo tentang gerakan sosial dan politik progresif di Amerika Latin, termasuk kemungkinan pengaruhnya ke Asia dan Afrika.
Berikut hasil wawancara dengan Lugo.
Apa yang mendorong Anda meninggalkan jabatan keagamaan sebagai uskup dan masuk dalam dunia politik yang keras sampai terpilih menjadi presiden?
Saya terpanggil berpolitik dan berjuang menjadi presiden karena desakan keadaan Paraguay. Sudah lebih dari 61 tahun negeri ini berada di bawah rezim yang korup. Paraguay tidak mungkin terus bertahan jika korupsi terus merebak luas, yang membuat jumlah orang miskin dan menderita semakin meningkat.
Lawan-lawan politik Anda didukung oleh kalangan pengusaha dan media besar, sementara dukungan utama Anda kaum miskin. Bagaimana persoalan kepemimpinan Anda?
Setelah terpilih, saya dengan sendirinya menjadi pemimpin untuk semua rakyat Paraguay, kaya atau miskin. Namun, keberpihakan saya jelas tetap terhadap kaum miskin dan menderita.
Apa prioritas pemerintahan Anda?
Peningkatan pelayanan publik dengan pertama-tama melakukan depolitisasi birokrasi. Akan dilakukan pula kontrol ketat atas pengelolaan keuangan negara untuk mencegah korupsi. Akan dilakukan perubahan tata kepemilikan tanah, landreform, serta menciptakan kedaulatan energi.
Anda termasuk penganut neososialisme khas Amerika Latin. Apa yang Anda perjuangkan bersama tokoh Amerika Latin lainnya dari sosialisme baru itu?
Kami selalu belajar dan berjuang agar sosialisme tidak hanya menetap pada tataran konseptual atau gagasan, tapi menjadi gerakan politik efektif untuk mengubah nasib masyarakat secara nyata dan langsung. Ajaran sosial dan nilai-nilai luhur, seperti diajarkan berbagai agama, perlu diwujudkan nyata bagi masyarakat lapis bawah yang umumnya telantar atau ditelantarkan.
Posisi Anda sendiri dalam gerakan sosialisme baru itu?
Saya memandang diri saya sebagai bagian dari sejarah yang sedang berkembang di Amerika Latin. Apa yang terjadi di Amerika Latin merupakan fenomena global dan anak zaman. Bisa-bisa neososialisme yang menekankan praktik, bukan wacana, ini akan segera bertiup di Asia dan Afrika.
Apa pengaruh Teologi Pembebasan bagi gerakan politik Anda?
Terus terang, saya pengagum dan peminat Teologi Pembebasan, yang antara lain telah membuat saya mampu memahami realitas kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Lantas, apa hubungannya dengan politik?
Teologi Pembebasan memang bukan gerakan politik dengan wadah partai politik, namun memberikan inspirasi bagi tindakan politik saya. Ketika berpolitik, saya bertindak sebagai warga negara, bukan sebagai penganut Teologi Pembebasan.
Bagaimana Anda merefleksikan kehidupan selama ini, terutama sebagai biarawan, setelah berada di puncak kekuasaan?
Pergulatan keagamaan saya sangat memengaruhi pilihan dan keberpihakan politik saya. Saya anak Gereja dan dibesarkan di dalamnya. SVD adalah ibu yang membesarkan saya. Saya patut berterima kasih atas nilai yang saya peroleh untuk persaudaraan, keadilan, kemanusiaan yang bersifat universal dan lintas budaya.
Anda selama ini bergaul dan hidup dengan orang pinggiran, bahkan dijuluki Uskup Kaum Papa. Apa perasaan Anda ketika memasuki dan hidup di istana?
Saya tidak akan berubah. Sebaliknya, saya ingin mengubah politik dengan nilai-nilai kebaikan yang saya dapatkan dari lingkungan keluarga, kongregasi saya, SVD, dan pergaulan dengan masyarakat miskin. Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.
Setelah selesai menjadi presiden, apakah kembali ke biara?
Saya akan kembali bekerja sesuai dengan panggilan hidup saya sebagai rohaniwan, tapi dengan cara lain. Saya akan tetap sebagai seorang religius, tapi bukan dalam pastoral aktif. Mungkin akan memilih cara hidup yang lebih meditatif dan reflektif agar bisa membagi pengalaman hidup berpolitik dan religius, terutama kepada kelompok masyarakat miskin dan lemah.
LA VERDAD SOBRE EL OBISPO:
BalasHapusTodo el andamiaje de la CIA y sus extensiones y derivados, como USAID, la National Endowment for Democracy y la prensa adicta al imperio, se jugó por el obispo Fernando Lugo el 20 de abril.
En Paraguay, llamó la atención que las ONGs recibieran fuertes donaciones a partir de la llegada al país del embajador James Cason, un conocido desestabilizador apadrinado por Otto Reich. El objetivo de la operación encubierta era sufragar la alternancia en el poder, ubicando al obispo Fernando Lugo en la presidencia de Paraguay.
Entre las numerosas organizaciones beneficiarias de estos dólares distribuidos por la administración de George W. Bush que apoyaron a la campaña del obispo, sobresalieron Gestión Local y la Casa de la Juventud, que financiaron con fondos de USAID e IAF a los movimientos Tekojoja y Pmas, como en Nicaragua la NED y otros organismos alternativos de la CIA propiciaron la elección de Violeta Chamorro en 1989.
Las organizaciones no gubernamentales y voluntarias –lo que hoy conocemos por sociedad civil— son conocidas como una extensión de las políticas neoliberales de EE UU en todo el mundo.
La CIA y la US Agency for International Development (USAID ó AID) tienen un protagonismo central en el esquema de promover las ideas y hechos políticos favorables al imperio, y a ellas se añadió un nuevo organismo, creado en 1983, bautizado como The National Endowment for Democracy (NED).
En Paraguay, la NED ejerce un control total sobre la prensa mediática, a la que presenta listas indicando cuáles son los referentes políticos que puede promocionar. Son los principales referentes de la NED los propietarios de ABC color y radio Ñandutí, Aldo Zucolillo y Humberto Rubín, dueños de gran parte de lo que en el país se puede decir. En Brasil, a comienzos de los 60, se utilizaron idénticas operaciones de la CIA junto a las de la sociedad civil opuesta al gobierno, con el resultado de provocar el golpe militar de 1964 contra el presidente Joâo Goulart, que dio comienzo a 20 años de una represión política indescriptiblemente brutal.
En fechas más recientes coordinaron un golpe mediático contra el gobierno de Raúl Cubas en Paraguay (marzo de 1999) y aceitaron a la sociedad civil de oposición al gobierno venezolano de Hugo Chávez, donde el papel de organismos gubernamentales estadounidenses, la CIA y otros como la AID y la NED detrás del fallido golpe de estado de abril de 2002 fue evidente.
El embajador norteamericano James Cason, como un flautista de Hamelín dedicado a cantar folklore paraguayo, fue determinante para alinear a todas las ONGs y fundaciones que reciben dólares americanos detrás del clérigo-presidente, sobrino del agente de la CIA Epifanio Méndez (delatado por Agee) y que perpetúa hoy la tradición familiar.
Entre las organizaciones aparecieron incluso grupos de feministas, que se vieron obligadas a impulsar una candidatura de un obispo católico, a pesar del clásico antagonismo con el Vaticano.
Entre estas supuestas organizaciones civiles estuvieron las feministas de convicciones subsidiadas por USAID como las Mujeres Políticas en Red, Parlamento Mujer, Red de Mujeres Políticas, Red de Mujeres Munícipes del Paraguay (RMMP), Coordinadora Interpartidaria de Mujeres del Paraguay (CIMPAR),), Mujeres Políticas por la Democracia y el Desarrollo,etc.
Son sufragadas desde la embajada norteamericana además de las redes de mujeres, Ideco (Roberto Ferreira), el Partido Demócrata Cristiano, Partido Encuentro Nacional, Patria Querida, el grupo de adherentes del Partido Unace que lidera Emma Rolón, la Red de Contralorías ciudadanas del Paraguay, la Contraloría Ciudadana de Ypané, Afosci, CIDSEP, CISNI, Fedem, Transparencia Paraguay, Semillas para la Democracia, radio Los Angeles, Radio Comunitaria de Villa Elisa, Fundación Tierra Nueva y GEAM, todos estos grupos aglutinados en el Grupo impulsor para la Regulación del Financiamiento Político en Paraguay.
La nómina sigue con Sakã (transparencia, en guaraní), integrada por cinco organizaciones no gubernamentales, Gestión Local, vinculada al Moviendo Tekojoja. Los "proyectistas" son Raúl Monte Domecq y Guillermina Kanonnikoff).
Otros grupos paraguayos financiados por extensiones de la CIA son Decidamos, Instituto de Geopolítica y Estudios Internacionales (IPEGEI), Radio CARITAS, Mujeres Por la Democracia, Centro Paraguayo de Estudios Sociológicos Fundación Paraguaya para la Cooperación y Desarrollo, Centro de Estudios Democráticos (CED), Centro de Información y Recursos para el Desarrollo, Instituto de derecho y Economía Ambiental, Centro de Estudios y Formación para el Ecodesarrollo, Asociación de Empresarios, Comité Paraguay-Kansas, Asociación Afro Paraguaya Kamba Cua, Centro Interdisciplinario de Derecho Social y Economía Política, Fundación Arlequín Teatro", Casa de la Juventud – Paraguay, cuna del Pmas de Camilo Soares, Cooperativa La Norteña y la Escuela Agrícola de Carumbey, Instituto de Estudios Comparados en Ciencias Penales y Sociales.
En el marco de la campaña pro-obispo, maletines de George W. Bush ingresaron en forma encubierta en Paraguay, yendo a parar a los bolsillos de los partidarios del obispo de los pobres y teólogo de la liberación, el marxista clérigo-presidente Fernando Lugo.
Por ejemplo, los 45,226.96 dólares que en nombre del Plan Umbral recibió recientemente la guevarista Casa de la Juventud (ONG que recauda para el PMas) de mano de organismos imperialistas bajo control de George W. Bush, supuestamente para enseñar a estudiantes secundarios algo fundamental: "identificar la corrupción" en Paraguay. Se suma el dinero a los 127.000 con que anteriormente les benefició la IAF. Se añaden en el mismo contexto las fuertes sumas que recibe Gestión Local, ONG cuyos responsables son a la vez financistas de Tekojoja, o los 132.700 dólares que en el 2006 recibió la Fundación Arlequín Tetro (refugio de organizadores de manifestaciones contra la actual administración municipal) para objetivos tan relacionados con el arte escénico como "ayudar a adolescentes de centros educativos a identificar, estudiar, discutir y atender las prioridades de la comunidad". Debemos agregar los 116.300 dólares de George W. Bush recibidos en el 2006 por el CIDSEP, los 95.000 dólares recibidos por la Fundación paraguaya para la Cooperación y Desarrollo del ex intendente Martín Burt, los 94.000 depositados a nombre de la ADEC, los 27.500 donados a la CPES de Domingo Rivarola, los 164.404 aportados a la CED, o las importantes donaciones que reciben el CIRD de Agustín Carrizosa para "apoyar a las organizaciones de la sociedad civil", la IDEA de Patricia Abed, o los sensibles ecologistas de Alter Vida como Jorge Lara Castro.
Como puede advertirse, la lista es bastante extensa y garantiza un amplio control sobre la "sociedad civil" paraguaya. No es la victoria electoral del Obispo Fernando Lugo la primera operación exitosa de la NED, USAID y la CIA en Paraguay, que ya actuó en Paraguay con eficacia varias veces. Por ejemplo, cuando en 1989 se derrumbaba la Unión Soviética, y con ella la propaganda con que el dictador Alfredo Stroessner justificaba sus abusos, se aseguró de promover un cambio a la medida de los intereses imperialistas, limpiando expedientes y ubicando en la presidencia a un célebre narcotraficante.
El mismo año el gobierno norteamericano invirtió mil millones de dólares en el triunfo de Violeta Chamorro en Nicaragua, imponiendo así una jefa de estado con los billetes provenientes de la National Endowment for Democracy, un inofensivo organismo llamado a tomar la posta de la CIA desde 1983.
Considerando inminente el fin de Stroessner, el imperio norteamericano se movilizó en ese entonces para impedir que sus adversarios tomen las riendas a su caída, para lo cual se apresuró a ganar para su causa a los disidentes con una muy buena remuneración.
El encargado de distribuír los dólares para "el cambio" fue el Dr. Carl Gershman, presidente de la NED. La Freedom House funcionó como un embudo por donde pasaron los fondos que concedía la NED, y gran parte de ellos fueron a parar a los bolsillos de los comunicadores destacados.
Radio Ñandutí, a través de la Casa de la Libertad, recibió importantes sumas de dinero de la National Endowment for Democracy (NED). Leonard Sussman, agente de la CIA y Director Ejecutivo de la Casa de la Libertad, realizó una visita a Paraguay a fines de 1987, guiado por Humberto Rubín, estableciendo contactos con varias organizaciones que luego recibirían fondos de la NED. El objetivo era "madurar" la idea del cambio.
A partir de entonces, estos organismos promovieron la estructuración de un andamiaje que hoy controla todo lo que en Paraguay se puede decir, paradójicamente con la coartada de que defienden la libertad de expresión.
Un organismo es la Cámara de Anunciantes del Paraguay (CAP), a la que acompaña Cerneco. Reciben con frecuencia los auspicios de USAID. Por ejemplo, el "Foro por la libertad de expresión", organizado por la Cámara de Anunciantes del Paraguay (CAP) y CERNECO en noviembre de 2004, fue auspiciada por la USAID (Agencia Internacional de desarrollo de los Estados Unidos). A este "Foro" asistió el señor Kevin Goldberg, "experto norteamericano en Libertad de Expresión y Derecho a la Información". Otro apéndice de la embajada norteamericana es el Centro de Regulación, Normas y Estudios de la Comunicación (CERNECO), fundado en 1990. Humberto Rubin, vinculado con la Nacional Endowment for Democracy (NED), fue presidente de CERNECO entre 1992-2002.
CERNECO proclama que "Surgió como un medio para canalizar inquietudes, ideales y el espíritu de servicio y progreso de un grupo de personas vinculadas al campo de la comunicación masiva".
Se formó una línea de acción que enfocaba el tema del Código de Ética, que regulaba la conducta de los propios medios de comunicación, de las empresas anunciantes y de las agencias de publicidad. Integraron la comisión pro-Código de Ética: Carlos Jorge Biedermann, Rufo Medina e Ilde Silvero. Rufo Medina e Ilde Silvero son empleados de Aldo Zuccolillo, dueño del diario ABC Color. En cuanto a Carlos Jorge Biedermann, basta con señalar que es yerno del general de la "Operación Cóndor", Guillermo Federico Clebsch, egresado de la Escuela de las Américas, detalle que alcanza para conocer cuál es la tendencia de su "ética"
Otra organización vinculada a este grupo es CONAR: Consejo de Autorregulación Publicitaria de CERNECO, un ente privado cuyo objetivo es la autorregulación de la publicidad, proponiendo a través de sus recomendaciones, que los mensajes publicitarios se encuadren dentro de los principios de la legalidad, honestidad, decencia y veracidad".
Toda esa estructura estuvo al servicio del Obispo Fernando Lugo, en una operación magistralmente coordinada por el desestabilizador estrella de George W. Bush, James Cason, y presentada ante la prensa mediática y los incautos como "un gran triunfo de la izquierda". Lo que se dice una perfecta operación encubierta de la CIA en Paraguay.