Oleh: Beny Uleander
seminaritodabelumataloko.co.cc, Senin, 24 November 2008
Setelah lama menanti, akhirnya Keuskupan Sufragan Denpasar memiliki uskup baru. Paus Benediktus XVI mengangkat Rm. Dr. Silvester San Tungga, Pr asal Maukeli, Mauponggo, Nagekeo, NTT sebagai uskup Denpasar keenam untuk meneruskan tugas kegembalaan yang telah ditinggalkan mendiang Mgr Benyamin Yosef Bria, Pr.Saat ini, Rm San, demikian sapaannya, bertugas Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere, Kabupaten Sikka dan dosen teologi di STFK Ledalero.Pengumuman resmi Takhta Suci Vatikan itu disampaikan secara oleh Administrator Keuskupan Denpasar, Rm Yosef Wora, SVD usai homili misa pertama di Katedral Renon, Denpasar, Minggu pagi, (23/11). Berita gembira tersebut disampaikan juga para pastor se-Keuskupan Denpasar saat misa hari Minggu.Hal yang mengejutkan, saya melihat reaksi dan respon umat saat mendengar pengumuman tersebut biasa-biasa saja. Memang ada tepukan tangan dari umat, tapi cuma sesaat lalu gereja kembali senyap. Tak ada aplaus meriah dan sikap antusiasme. Padahal kalau di Flores, pengumuman uskup baru disambut dengan tepukan tangan super meriah, suasana gereja menjadi gaduh, riuh seperti suara lebah, wajah umat terlihat gembira, ada ekspresi haru dan ada pula yang langsung menangis gembira karena sudah ada uskup baru.Saya bertanya-tanya dalam hati, ada apa? Kog datar-datar saja reaksi umat yang hadir misa pagi itu! Padahal sudah berminggu-minggu, umat di Keuskupan Denpasar setiap hari Minggu dalam perayaan ekaristi selalu berdoa mohon kehadiran uskup baru sesegera mungkin.Saya sendiri kaget campur haru mendengar pengumuman resmi tersebut. Pasalnya, Rm San pernah menjadi tim prefek (staf pembina) saat saya duduk di kelas satu SMP Seminari Mataloko selama setahun, 1989-1990. Langsung saya mengirim pesan singkat (SMS) ke Rm Feliks Djawa, Pr, Rm Vincent Delo Betu, OCarm, Rm, John Dhae, Pr, serta sejumlah rekan-rekan saya di Maumere dan Bajawa.Sempat terlintas di pikiran saya, jangan-jangan Rm San akan kembali menghadapi situasi serupa saat Mgr Benyamin Bria ditunjuk sebagai uskup baru Denpasar menggantikan Mgr Vitalis Djebarus, SVD. Yaitu reaksi penolakan secara halus dari “sekelompok” umat karena Takhta Suci tidak menunjuk ‘putra daerah’ keuskupan Denpasar menjadi uskup Denpasar. Saya sempat mendengar ceritera dari Pak Agus Thuru saat masih menjadi wartawan Fajar Bali, bahwa Mgr Benyamin Bria awal kehadirannya sempat disambut dingin. Bahkan pihak Vatikan pernah mewanti-wanti bahwa Gereja Katolik bersifat universal. Setiap imam atau pejabat gereja harus siap dan sepenuh hati mengembangkan tugas kegembalaan di mana saja di bawah kolong langit sesuai dengan penugasan otoritas gereja.Memang reaksi dingin umat dalam gereja yang mendengar pengumuman uskup baru itu benar-benar mengganggu kosentrasi doa saya. Saya kembali berusaha untuk berpikir positif. Apa mungkin karena umat di Bali sama sekali tidak tahu sosok calon uskup baru mereka. Ada pepatah mengatakan “tak dikenal maka tak disayang”.Saya kembali teringat akan Mgr Benyamin Bria yang dengan ketenangan, kesabaran, dan kewibawaannya berhasil memikat hati umatnya. Ia akhirnya disayangi, dirindukan kehadirannya dan didengar suara maupun pesan-pesan kegembalaannya. Eh..tau-tahu, Tuhan dengan cepat memanggil Mgr Benyamin untuk menjadi pendoa kita di rumah Bapa. Mgr Benyamin meninggal dunia di RS Mount Elisabeth, Singapura, 18 September 2007. Ia meninggal pada usia 51 tahun akibat penyakit lever yang dideritanya. Padahal sebelum jatuh sakit, Uskup Benyamin sempat menerima audiensi Solidaritas Jurnalis Katolik Bali (SJKB) yang saat itu diketuai Eman Djomba dan Apolo Daton. Kepergian Mgr Benyamin Bria yang masih muda dan energik meninggalkan rasa kehilangan mendalam di hati umat Keuskupan Bali. Prosesi pemakamannya dipadati ribuan umat Katolik. Semua itu menjadi tanda bahwa Mgr Benyamin telah menjadi bapa rohani mereka. Suaranya yang khas seakan masih bersemayam di langit-langit Katedral Renon.Saya berharap kehadiran Rm San kelak tidak menimbulkan sikap pro dan kontra. Karena kemarin sore saya sempat ke warung RW Atambua di areal taman bunga Hayam Wuruk (kebetulan saya menggelar syukuran atas anugerah kesembuhan ibu saya). Saat saya datang, sudah ada orang-orang timor yang berdiskusi soal uskup baru, Rm Silvester San. Ada orang Bali “blasteran” (Bali-NTT) yang berkomentar minor. “Kenapa gereja mengangkat orang yang tidak tidak punya latar belakang budaya Ngada? Kan dia orang Cina Toto? Agama leluhurnya Kong Ho Chu? Apa karena gereja kekurangan uang sehingga orang Cina diangkat menjadi uskup. Atau jangan-jangan uang-uang gereja akan parkir di bank tertentu?Saya termangu diam. Kog, ada ya umat yang pikirannya sempit…alias sepotong-sepotong. Ya sudah…anjing menggonggong, kafilah berlalu. Bagi orang Bajawa, anjing menggonggong berarti tidak lama lagi akan dijadikan “erwe”…he..he..he…Desas-desus bahwa uskup baru Denpasar lagi-lagi akan datang dari NTT sudah lama saya dengar. Saat berdiskusi dengan tokoh umat asal Flores, Bpk Paul Edmundus Tallo, saya mendengar kemungkinan besar calon uskup baru Denpasar adalah orang Bajawa. Ada tiga kandidat: P Hubert Muda, SVD (antropolog), Rm Bene Daghi, Pr (islamilog) atau Rm Silvester San, Pr (teolog biblis). Ketiganya pernah studi di Roma atau bergelar doktor di bidang teologi/filsafat. Akhirnya, Rm San lah yang dipilih Tuhan menjadi uskup Denpasar.Usai bertugas di Mataloko, Rm San setahu saya meneruskan studi teologi khusus mendalami kitab suci perjanjian lama di Roma. Saya kembali bertemu Rm San saat beliau didapuk sebagai staf pengajar teologi biblis di STFK Ledalero sekitar tahun 1998. Ia mengajar kami sejarah kitab-kitab Deuteronomis.Selama di seminari Mataloko, Rm San sangat disegani. Saya pernah gemetaran saat berbohong kepada Rm San. Saat itu, saya dan beberapa teman di antaranya Ever Longa, Hans Separ, Cici Ire, Elton Tenga, dan beberapa teman saya sudah lupa “pura-pura” sakit. Kami tidur-tiduran di asrama. Padahal saat orang belajar, kami di kamar tidur menggelar pesta “makan-makan kue”.Maklum saat itu, kami baru pulang liburan Natal dan tahun baru. Siswa seminari membawa banyak oleh-oleh dari kampong halamannya. Hampir setiap hari pasti ada “pesta meja” alias makan enak. Tong sampah sudah pasti dipenuhi sayur kol ulat yang tidak pernah dicicipi anak seminari. Saat makan, semua anak asrama memamerkan sambal ikan, dendeng buatan orangtua, dll.Saat asyik kami berpesta, tiba-tiba Rm San datang tanpa kami tahu. Langkah kakinya tak pernah kami dengar. Tau-tau Rm San sudah berada di dalam kamar tidur yang luas itu. Beruntung menjelang sore, suasana ruang tidur gelap. Lampu-lampu kamar tidur tidak dinyalakan saat siswa seminari belajar. Kami lari berhamburan ke tempat tidur masing-masing..pura-pura tidur alias sakit. Tanpa saya duga Rm San datang di samping tempat tidur saya.“Kamu tidak belajar,” tanya Rm San dengan nada dingin.“Saya sakit Romo,” jawab saya dengan suara dibuat-buat kayak orang demam. Padahal saya gemetar ketakutan.“Kamu tipu kan..pura-purat sakit,” sergah Rm San.Saya diam seribu bahasa sambil berdoa penuh harap mudah-mudahan saat itu juga Tuhan membuat saya jatuh sakit….Saya tidak tahu kapan Rm San berlalu dari samping tempat tidur saya. Yang pasti esok hari, pagi-pagi saya bangun dengan semangat juang 45, ke kapela untuk misa dan siap mengisi tahun ajaran baru. Semuanya saya buat karena takut “bertemu” Rm San di tempat yang salah. Kan bisa dicedok alias dikeluarkan dari seminari. Apalagi itu pengalaman awal saya berani-beraninya berdusta kepada seorang pastor. Mengerikan...suara hati jadi berantakan tidak karuan...Rasa salah menghantui diri saya. Setiap kali berpapasan dengan Romo San di lorong-lorong asrama saya tidak berani melihat wajahnya!Rm San terkenal sebagai pembina yang berjalan tanpa suara. Tanpa banyak omong. Dia hanya melihat lamaaaa sekali siswa seminari yang ribut atau berbuat onar. Sampai kami salah tingkah dan tidak tahu buat apa karena terus dipelototi oleh Baba Romo.Itulah sepenggal kisah saya dan Rm San yang masih tersimpan di memoriku. Seorang pastor praja keturunan Cina Toto, putra Baba Roben Robo, pengusaha asal Maukeli. Kulitnya jelas putih, suka bermain sepak bola dengan siswa seminari.Feeling bisnisnya juga tajam, mungkin pengaruh darah Cinanya. Koperasi Seminari yang dikelolanya sempat berkembang pesat. Banyak barang di kios koperasi, termasuk jajanan ringan yang membuat anak seminari jadi jarang bolos ke Boa Dona atau ke kios Mimosa Mataloko. Rm San kami mengucapkan proficiat.
Selamat ya Romo! Terima kasih Tuhan, kami di Bali sudah ada uskup baru!
It's too bad. Another Flores becomes the Balinese bishop. Too bad. Balinese doesn't deserve it?
BalasHapusVitalis Djebarus, Benjamin Bria sangat asing dengan masyarakat lokal. Dia tidak bisa bergaul kecuali dengan sukunya sendiri. Gereja Katolik Bali hanyalah subsidiary kebudayaan Katolik Flores. Itu masalahnya.
Tetapi mungkin kali ini saya harus optimis. Setidaknya, uskup yang baru berdarah Cina. Tapi itu bukan penyelesaian dari masalah. Yang dibutuhkan adalah orang yg mampu mengerti dan bergaul dengan masyarakat lokal. Seorang gembala dengan "pengertian, empati, dan kedalaman" lokal. Darimanapun mereka berasal. Terus terang, dua uskup terakhir sangat tidak MAMPU memahami ini. Dan ini sungguh mngecewakan saya.
Salam saya,
-Antonius Made Supriatma
New York, USA
Kita selalu berharap, bahwa buah yang terbaik, yang akan kita peroleh. Saya sangat yakin kalau Mgr. San mampu untuk menjadi gembala yang baik yang punya pengertian, empati. Kita doakan semoga yang terbaiklah yang akan diberikan oleh beliau.Perlu belajar dari sejarah masa silam dan dari tempat lain.
BalasHapusKeusukupan Bandung, sudah dipimpin oleh beberapa Uskup dari luar Keuskupan Bandung. Karya-karya pelayanan mereka mengagumkan..... Semoga Tuhan yang selalu menuntun langkah dan karya pelayanan Mgr. San dkk.