Jumat, 28 November 2008

Arkeolog Teliti Usia Fosil Gajah Purba di Ngada


KUPANG, PK-- Para arkeolog yang tergabung dalam satu tim akan melanjutkan penelitian tentang peninggalan arkeologi dan fosil di Metamenge, Mengeruda, Kabupetan Ngada. Tim ini beranggota lima orang, dua diantaranya berkebangsaan Denmark dan Belanda. Mereka akan meneliti secara khusus usia benda-benda peninggalan prasejarah mulai Kamis-Minggu (27-30/11/2008).Tim ini terdiri dari Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Arkeologi, Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Propinsi Nusa Tengga Timur (NTT), Dra. Jublina Tode Solo, Gert van Den Bergh dari Wollongong University-New South Wales- Australia, Giten Jansen dari Quard Lab Roskilde University-Denmark dan Fahrul Aziz dari Museum Bandung.
Gert van Den Bergh yang didampingi Jublina Tode Solo di Kupang, Rabu (26/11/2008) malam, menjelaskan, penelitian terhadap fosil gajah purba dan peninggalan manusia purba di Mengeruda sudah dilakukan pada tahun 2007. Penelitian itu dilakukan untuk mengetahui asal gajah purba dan peralatan manusia yang hidup pada zaman pleistosen (antara 1,6 juta tahun hingga 10 ribu tahun lalu).
Sementara penelitian yang dilakukan saat ini lebih fokus pada usia berbagai temuan itu. "Kita pernah ke sana tahun 2007, dan kedatangan kita ini tidak melakukan penggalian seperti tahun lalu. Kita hanya ambil contoh material di tempat itu untuk melakukan penelitian usia dari benda-benda temuan, seperti fosil gajah purba dan peralatan milik manusia yang hidup pada zaman itu," jelas Van Den Bergh.
Menurutnya, penentuan umur dari fosil tersebut untuk memastikan tahun hidup binatang tersebut. Demikian juga peralatan seperti pisau dari batu. Penelitian ini untuk memperkuat penelitian sebelumnya, bahwa manusia Flores sudah hidup pada zaman pleistosen.
Menjadi pertanyaan, demikian Van Den Bergh, asal-usul manusia yang menghuni dataran Mengeruda. Penelitian ini penting agar bisa diketahui apakah manusia Flores sudah ada pada zaman itu atau belum. Sebab, ada pula anggapan bahwa manusia belum ada pada zaman tersebut.
Dijelaskannya, dalam tim tersebut terdapat ahli umur arkeologi, Giten Jansen. Menurutnya, penelitian dilakukan dengan metode menguji bahan material sisa vulkanik.
Selain di Kabupaten Ngada, tim juga akan melakukan penelitian di Atambua. Sama dengan di Ngada, penelitian di Kabupaten Belu juga pernah dilakukan pada tahun 2006, sementara pada penelitian kali ini lebih fokus pada usia peninggalan manusia pada masa lalu. (alf)

Bupati Aoh Mulai Sosialisasi Visi dan Misi


MBAY, PK -- Bupati Nagekeo, Drs. Yohanes Samping Aoh dan wakilnya, Drs. Paulus Kadju selama dua hari, Senin dan Selasa (24-25/11/2008), mensosialisasikan visi dan misi kepada para kepala desa (kades), lurah, camat, pimpinan dinas, badan dan bagian lingkup di Setda Nagekeo. Sosialisasi visi dan misi itu dilakukan di Pondok SVD Danga-Mbay. Sosialisasi tersebut dilaksanakan untuk menyamakan persepsi semua aparat pemerintah tentang arah dan sasaran pembangunan di Nagekeo, lima tahun ke depan.
Demikian hasil pantauan Pos Kupang di Pondok SVD Danga-Mbay, Selasa (25/11/2008) pagi. Saat itu Bupati Nani Aoh mengibaratkan kondisi Nagekeo sekarang ini seperti pesawat yang akan take off (lepas landas) di bandara, dimana pilotnya masih mencari posisi agar pesawat bisa lepas landas dengan mulus dan sampai tujuan dengan selamat.
Bupati Aoh menjelaskan, mekarnya Nagekeo dari kabupaten induk, Ngada, bertujuan mengangkat harkat dan martabat masyarakat Nagekeo melalui pendekatan pelayanan pelayanan oleh pemerintah.
"Agar kerja itu baik dan berhasil, perlu ada kebersamaan dan solidaritas dalam membangun Nagekeo dengan motto 'Ingatkan yang Lupa, Benahi yang Tercecer dan Jemput yang Tertinggal'. Saling mengingatkan jika ada yang lupa, lalai dalam melaksanakan tugas dalam membangun. Sarana dan prasarana umum seperti jalan, air bersih yang belum dibenahi, harus kita benahi. Dengan begitu kita bisa mengejar ketertinggalan," kata Mantan Bupati Ngada ini.
Dia meminta semua pejabat pemerintah mulai dari kades/lurah, camat sampai pimpinan dinas/badan/bagianharus bisa membuat terobosan dalam melaksanakan tugas agar bisa membawa kemajuan.
Sesuai jadwal kegiatan sosialisasi yang diperoleh Pos Kupang, di hari pertama, Bupati Aoh dan Wabup Kadju mensosialisasikan visi dan misi serta memberi pembekalan kepada semua kades/lurah dan para camat. Semua tujuh camat dan 100 kepala desa/lurah hadir dalam acara tersebut.
Sedangkan di hari kedua, sosialisasi dan pembekalan diikuti para asisten, kepala dinas, kepala badan, kepala bagian dan semua PNS di Setda Nagekeo. (ris)

Kamis, 27 November 2008

Garuda Raksasa Nan Memukau di Cileungsi


Nurul Hidayati - detikNews

Kamis, 27/11/2008 09:40 WIB



Jakarta - Jika Anda rajin blogwalking atau menjenguk milis, mungkin Anda telah menemukan ini: bangunan raksasa Garuda Pancasila di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Anda layak berdecak kagum, tak habis pikir ternyata ada orang kita yang memiliki ide membangun Garuda Pancasila raksasa.Bangunan ini sejatinya sudah lama berdiri. Namun kedahsyatannya baru diketahui publik luas setahunan ini berkat teknologi google earth. Dari angkasa, bangunan itu memukau dengan desain Garuda Pancasila yang cukup jelas. Ada sayap, kepala, maupun perisai berlambang 5 sila.Bangunan apakah itu? Nama resminya adalah Graha Garuda Tiara. Jika ingin menyaksikannya, silakan masukkan koordinat S 6.417919 E 106.957672 ke google earth atau google map. Dengan mudah, tampilan bangunan Garuda Pancasila itu kentara.Sejumlah blogger telah menampilkan bahasan Graha Garuda Tiara ini dalam blognya. Disebutkan bahwa bangunan itu milik keluarga Cendana yang dibangun sekitar 1995 namun macet pada 1997. Para remaja yang terlibat Kirab Remaja Nasional, program reguler Orba, sering diinapkan di sini."Tampaknya kompleks gedung ini tidak lagi dipergunakan dan terbengkalai, tersangkut kasus dana Jamsostek senilai 75 milyar," tulis blog beralamat ryosaeba.wordpress.com.Sedangkan blog Arief di katawaktu.multiply.com mengisahkan bahwa kompleks Graha Garuda Tiara itu direncanakan rezim Soeharto sebagai kompleks olahraga, lengkap dengan hotel, yang konon untuk menandingi Senayan, kompleks olahraga peninggalan Soekarno.Arief menceritakan, dulu dia memiliki seorang teman yang bekerja sebagai front desk di Hotel Garuda Tiara Convention, Cileungsi. "Dari penuturannya, teman saya menceritakan bahwa hotel tersebut cukup mewah dan banyak dihuni oleh para ekspatriat yang bekerja di kawasan Bekasi, Cibinong dan sekitarnya," tulisnya. Seiring jatuhnya Soeharto dari kekuasaan, berakhir sudah riwayat Graha Garuda Tiara. Dari peta google earth, yang telihat hanya rumput ilalang yang memenuhi kawasan ratusan hektar itu. "Bangunan hotel yang tadinya berdiri megah kini menjadi rumah hantu," tulis Arief.(nrl/iy) -->

Monumen Banceuy yang Tak Bertuan


Kamis, 27/11/2008 09:03 WIB

Ema Nur Arifah - detikBandung



Bandung - Jalan Banceuy, jalan yang terletak di sebelah utara alun-alun Bandung ini menyisakan jejak sejarah perjuangan Presiden RI pertama Ir Soekarno. Soekarno pernah dibui di penjara Banceuy yang diabadikan melalui monumen penjara Banceuy.Tapi ketika menyusuri jalan ini tak tampak tanda-tanda atau petunjuk yang mengarahkan pada monumen bersejarah ini. Hanya deretan toko dan roda-roda penjual makanan yang tampak. Kuncinya adalah bertanya. Para pedagang yang sudah tak asing lagi dengan monumen tersebut akan menunjukan arahnya. Melalui jalan belakang Factory, gang yang berada di pinggiran Jalan Banceuy akan memapah pada gang lain yang terletak di sebelah kiri. Di antara bagian belakang bangunan-bangunan pertokoan, di situlah monumen penjara Banceuy ditemukan.Dikelilingi pagar-pagar besi pendek dengan dua bendera merah putih berkibar di sisi kiri dan kanan, monumen ini tampak begitu sepi. Seperti tak bernyawa, tak ada tulisan atau kata-kata apapun. Seolah Monumen Banceuy Tak Bertuan.Hanya tiga buah bangunan bercat putih yang mewakili nilai sejarah yang pernah ada di tempat ini. Satu menara penjagaan, satu lagi monumen yang di atasnya disimpan batu besar dan sebuah kamar nomor 5, tempat di mana Soekarno menghabiskan waktu delapan bulan di penjara ini.Bau pesing yang menyengat adalah ciri khas lain. Beberapa buah tulisan di tembok melarang siapa pun untuk buang air sembarangan. Monumen bersejarah ini pun kini jadi tempat jemuran. Entah milik siapa, tampak beberapa pakaian dijemur di sekeliling pagar.Penjara Banceuy dibangun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1877. Di tempat ini terdapat dua macam sel, yaitu sel tahanan politik di lantai atas dan sel tahanan kriminal di lantai bawah. Para tahanan ditempatkan secara berurutan dari nomor 5 sampai 11.Soekarno ditangkap bersama empat kawannya yang lain di PNI. Soekarno menempati kamar di Blok F no 5 yang kini masih diabadikan di monumen Banceuy. Bendera merah putih tampak terlihat di salah satu dinding kamar berukuran 1x1,5 meter tersebut.Di sel sempit itu lah Soekarno memanfaatkan waktu menuliskan pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat di pengadilan Landraad (sekarang Gedung Indonesia Menggugat) 30 Agustus 1930.Dalam catatannya, selama delapan bulan di penjara Banceuy Soekarno memaparkan dirinya berada dalam penahanan yang keras. Namun Soekarno juga menyebutkan di sini pula dirinya berkembang. 'Ruang penjara adalah sekolahku', demikian salah satu tulisan Soekarno.Sekolah Soekarno itu kini seperti tak bertuan, tak terawat. Sepi tanpa catatan. Padahal seyogyanya situs sejarah bisa menjadi sekolah bagi generasi selanjutnya. Seperti halnya Soekarno yang memanfaatkan tempat ini bagi dirinya belajar.

Selasa, 25 November 2008

Selamat Uskup San


Oleh FRANS OBON


Umat Katolik Keuskupan Denpasar boleh bergembira. Karena dalam waktu tidak terlalu lama, mereka mendapatkan uskup baru menggantikan almarhum Uskup Benyamin Yosef Bria, yang meninggal setahun lalu. Tahta Suci Paus Benediktus XVI, Sabtu (22/11) mengangkat Romo Silvester San Pr, Praeses Seminari Tinggi Ritapiret, Maumere jadi Uskup Denpasar. Pengumuman pencalonannya di istana Keuskupan Maumere yang disiarkan melalui Radio Keuskupan Rogate disambut gembira umat Katolik. Pengangkatannya diumumkan juga di keuskupan-keuskupan di Flores.Romo San meraih doktor dalam bidang Teologi Biblis dari Universitas Urbanianum Roma, Italia (1995-1997). Dia ditahbiskan imam, 29 Juli 1988 di Maumere. Romo San lahir di Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, 14 Agustus 1961. Uskup San meminta dukungan doa dari umat Katolik di Flores untuk tugas kegembalaannya di Keuskupan Denpasar nanti.Umat Katolik menyambut gembira pengangkatan seorang uskup bukan karena jabatan uskup itu sebuah prestise, melainkan karena tugasnya membimbing, menuntun umat Katolik menuju Guru Agung Yesus Kristus cukup sentral. Karena Uskup dengan tongkat kegembalaannya menuntun kawanannya di tengah arus zaman globalisasi yang begitu deras sekarang ini. Tugas uskup menjadi tidak ringan di tengah dunia yang terfragmentasi oleh kepentingan duniawi, di tengah situasi sekularisme dan kapitalisme yang menggurita, di tengah transisi politik Indonesia menuju demokrasi. Seorang uskup harus dengan tekun merenungkan Sabda Tuhan, memelihara perbendaharaan iman (depositum fidei) dan menyiarkannya kepada orang-orang zaman ini. Seorang uskup yang dengan tekun berdoa dan mendengar bisikan Roh Kudus mewartakan iman dan moral kepada dunia zaman ini dan ajaran iman dan moralnya didengarkan sehingga menimbulkan ketaatan iman dan moral pula. Ketaatan iman dan moral itu tentu perkara ke dalam kehidupan Gereja Katolik sendiri. Tentu lebih berat lagi adalah bagaimana ajaran iman dan moral Gereja Katolik bergema di tengah kehidupan masyarakat yang makin plural, sehingga menarik orang-orang zaman ini.Dalam hal tertentu, pengangkatan ini adalah kebanggaan iman umat Katolik Flores. Kebanggaan keluarga-keluarga Katolik di Flores. Kebanggaan seminari-seminari di Flores. Flores kembali memberikan sumbangannya pada kepentingan Gereja Lokal di Indonesia. Bahkan kepada kepentingan Gereja universal. Kebanggaan ini tentu sekaligus menuntut tanggung jawab yang lebih besar agar keluarga-keluarga Katolik di Flores sungguh menjadi tempat persemaian iman Katolik yang benar di bawah bimbingan para uskup. Seminari-seminari menjadi tempat persemaian yang subur. Tempat para calon ditempah untuk mampu menjawab tuntutan zaman ini. Kita bangga, tapi serentak memberi kita tanggung jawab. Selamat kepada Uskup San.

Uskup Pertama Nagekeo, “Cina Toto”, Orangtua Berlatar Kong Ho Chu

Oleh: Beny Uleander
seminaritodabelumataloko.co.cc, Senin, 24 November 2008

Setelah lama menanti, akhirnya Keuskupan Sufragan Denpasar memiliki uskup baru. Paus Benediktus XVI mengangkat Rm. Dr. Silvester San Tungga, Pr asal Maukeli, Mauponggo, Nagekeo, NTT sebagai uskup Denpasar keenam untuk meneruskan tugas kegembalaan yang telah ditinggalkan mendiang Mgr Benyamin Yosef Bria, Pr.Saat ini, Rm San, demikian sapaannya, bertugas Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere, Kabupaten Sikka dan dosen teologi di STFK Ledalero.Pengumuman resmi Takhta Suci Vatikan itu disampaikan secara oleh Administrator Keuskupan Denpasar, Rm Yosef Wora, SVD usai homili misa pertama di Katedral Renon, Denpasar, Minggu pagi, (23/11). Berita gembira tersebut disampaikan juga para pastor se-Keuskupan Denpasar saat misa hari Minggu.Hal yang mengejutkan, saya melihat reaksi dan respon umat saat mendengar pengumuman tersebut biasa-biasa saja. Memang ada tepukan tangan dari umat, tapi cuma sesaat lalu gereja kembali senyap. Tak ada aplaus meriah dan sikap antusiasme. Padahal kalau di Flores, pengumuman uskup baru disambut dengan tepukan tangan super meriah, suasana gereja menjadi gaduh, riuh seperti suara lebah, wajah umat terlihat gembira, ada ekspresi haru dan ada pula yang langsung menangis gembira karena sudah ada uskup baru.Saya bertanya-tanya dalam hati, ada apa? Kog datar-datar saja reaksi umat yang hadir misa pagi itu! Padahal sudah berminggu-minggu, umat di Keuskupan Denpasar setiap hari Minggu dalam perayaan ekaristi selalu berdoa mohon kehadiran uskup baru sesegera mungkin.Saya sendiri kaget campur haru mendengar pengumuman resmi tersebut. Pasalnya, Rm San pernah menjadi tim prefek (staf pembina) saat saya duduk di kelas satu SMP Seminari Mataloko selama setahun, 1989-1990. Langsung saya mengirim pesan singkat (SMS) ke Rm Feliks Djawa, Pr, Rm Vincent Delo Betu, OCarm, Rm, John Dhae, Pr, serta sejumlah rekan-rekan saya di Maumere dan Bajawa.Sempat terlintas di pikiran saya, jangan-jangan Rm San akan kembali menghadapi situasi serupa saat Mgr Benyamin Bria ditunjuk sebagai uskup baru Denpasar menggantikan Mgr Vitalis Djebarus, SVD. Yaitu reaksi penolakan secara halus dari “sekelompok” umat karena Takhta Suci tidak menunjuk ‘putra daerah’ keuskupan Denpasar menjadi uskup Denpasar. Saya sempat mendengar ceritera dari Pak Agus Thuru saat masih menjadi wartawan Fajar Bali, bahwa Mgr Benyamin Bria awal kehadirannya sempat disambut dingin. Bahkan pihak Vatikan pernah mewanti-wanti bahwa Gereja Katolik bersifat universal. Setiap imam atau pejabat gereja harus siap dan sepenuh hati mengembangkan tugas kegembalaan di mana saja di bawah kolong langit sesuai dengan penugasan otoritas gereja.Memang reaksi dingin umat dalam gereja yang mendengar pengumuman uskup baru itu benar-benar mengganggu kosentrasi doa saya. Saya kembali berusaha untuk berpikir positif. Apa mungkin karena umat di Bali sama sekali tidak tahu sosok calon uskup baru mereka. Ada pepatah mengatakan “tak dikenal maka tak disayang”.Saya kembali teringat akan Mgr Benyamin Bria yang dengan ketenangan, kesabaran, dan kewibawaannya berhasil memikat hati umatnya. Ia akhirnya disayangi, dirindukan kehadirannya dan didengar suara maupun pesan-pesan kegembalaannya. Eh..tau-tahu, Tuhan dengan cepat memanggil Mgr Benyamin untuk menjadi pendoa kita di rumah Bapa. Mgr Benyamin meninggal dunia di RS Mount Elisabeth, Singapura, 18 September 2007. Ia meninggal pada usia 51 tahun akibat penyakit lever yang dideritanya. Padahal sebelum jatuh sakit, Uskup Benyamin sempat menerima audiensi Solidaritas Jurnalis Katolik Bali (SJKB) yang saat itu diketuai Eman Djomba dan Apolo Daton. Kepergian Mgr Benyamin Bria yang masih muda dan energik meninggalkan rasa kehilangan mendalam di hati umat Keuskupan Bali. Prosesi pemakamannya dipadati ribuan umat Katolik. Semua itu menjadi tanda bahwa Mgr Benyamin telah menjadi bapa rohani mereka. Suaranya yang khas seakan masih bersemayam di langit-langit Katedral Renon.Saya berharap kehadiran Rm San kelak tidak menimbulkan sikap pro dan kontra. Karena kemarin sore saya sempat ke warung RW Atambua di areal taman bunga Hayam Wuruk (kebetulan saya menggelar syukuran atas anugerah kesembuhan ibu saya). Saat saya datang, sudah ada orang-orang timor yang berdiskusi soal uskup baru, Rm Silvester San. Ada orang Bali “blasteran” (Bali-NTT) yang berkomentar minor. “Kenapa gereja mengangkat orang yang tidak tidak punya latar belakang budaya Ngada? Kan dia orang Cina Toto? Agama leluhurnya Kong Ho Chu? Apa karena gereja kekurangan uang sehingga orang Cina diangkat menjadi uskup. Atau jangan-jangan uang-uang gereja akan parkir di bank tertentu?Saya termangu diam. Kog, ada ya umat yang pikirannya sempit…alias sepotong-sepotong. Ya sudah…anjing menggonggong, kafilah berlalu. Bagi orang Bajawa, anjing menggonggong berarti tidak lama lagi akan dijadikan “erwe”…he..he..he…Desas-desus bahwa uskup baru Denpasar lagi-lagi akan datang dari NTT sudah lama saya dengar. Saat berdiskusi dengan tokoh umat asal Flores, Bpk Paul Edmundus Tallo, saya mendengar kemungkinan besar calon uskup baru Denpasar adalah orang Bajawa. Ada tiga kandidat: P Hubert Muda, SVD (antropolog), Rm Bene Daghi, Pr (islamilog) atau Rm Silvester San, Pr (teolog biblis). Ketiganya pernah studi di Roma atau bergelar doktor di bidang teologi/filsafat. Akhirnya, Rm San lah yang dipilih Tuhan menjadi uskup Denpasar.Usai bertugas di Mataloko, Rm San setahu saya meneruskan studi teologi khusus mendalami kitab suci perjanjian lama di Roma. Saya kembali bertemu Rm San saat beliau didapuk sebagai staf pengajar teologi biblis di STFK Ledalero sekitar tahun 1998. Ia mengajar kami sejarah kitab-kitab Deuteronomis.Selama di seminari Mataloko, Rm San sangat disegani. Saya pernah gemetaran saat berbohong kepada Rm San. Saat itu, saya dan beberapa teman di antaranya Ever Longa, Hans Separ, Cici Ire, Elton Tenga, dan beberapa teman saya sudah lupa “pura-pura” sakit. Kami tidur-tiduran di asrama. Padahal saat orang belajar, kami di kamar tidur menggelar pesta “makan-makan kue”.Maklum saat itu, kami baru pulang liburan Natal dan tahun baru. Siswa seminari membawa banyak oleh-oleh dari kampong halamannya. Hampir setiap hari pasti ada “pesta meja” alias makan enak. Tong sampah sudah pasti dipenuhi sayur kol ulat yang tidak pernah dicicipi anak seminari. Saat makan, semua anak asrama memamerkan sambal ikan, dendeng buatan orangtua, dll.Saat asyik kami berpesta, tiba-tiba Rm San datang tanpa kami tahu. Langkah kakinya tak pernah kami dengar. Tau-tau Rm San sudah berada di dalam kamar tidur yang luas itu. Beruntung menjelang sore, suasana ruang tidur gelap. Lampu-lampu kamar tidur tidak dinyalakan saat siswa seminari belajar. Kami lari berhamburan ke tempat tidur masing-masing..pura-pura tidur alias sakit. Tanpa saya duga Rm San datang di samping tempat tidur saya.“Kamu tidak belajar,” tanya Rm San dengan nada dingin.“Saya sakit Romo,” jawab saya dengan suara dibuat-buat kayak orang demam. Padahal saya gemetar ketakutan.“Kamu tipu kan..pura-purat sakit,” sergah Rm San.Saya diam seribu bahasa sambil berdoa penuh harap mudah-mudahan saat itu juga Tuhan membuat saya jatuh sakit….Saya tidak tahu kapan Rm San berlalu dari samping tempat tidur saya. Yang pasti esok hari, pagi-pagi saya bangun dengan semangat juang 45, ke kapela untuk misa dan siap mengisi tahun ajaran baru. Semuanya saya buat karena takut “bertemu” Rm San di tempat yang salah. Kan bisa dicedok alias dikeluarkan dari seminari. Apalagi itu pengalaman awal saya berani-beraninya berdusta kepada seorang pastor. Mengerikan...suara hati jadi berantakan tidak karuan...Rasa salah menghantui diri saya. Setiap kali berpapasan dengan Romo San di lorong-lorong asrama saya tidak berani melihat wajahnya!Rm San terkenal sebagai pembina yang berjalan tanpa suara. Tanpa banyak omong. Dia hanya melihat lamaaaa sekali siswa seminari yang ribut atau berbuat onar. Sampai kami salah tingkah dan tidak tahu buat apa karena terus dipelototi oleh Baba Romo.Itulah sepenggal kisah saya dan Rm San yang masih tersimpan di memoriku. Seorang pastor praja keturunan Cina Toto, putra Baba Roben Robo, pengusaha asal Maukeli. Kulitnya jelas putih, suka bermain sepak bola dengan siswa seminari.Feeling bisnisnya juga tajam, mungkin pengaruh darah Cinanya. Koperasi Seminari yang dikelolanya sempat berkembang pesat. Banyak barang di kios koperasi, termasuk jajanan ringan yang membuat anak seminari jadi jarang bolos ke Boa Dona atau ke kios Mimosa Mataloko. Rm San kami mengucapkan proficiat.
Selamat ya Romo! Terima kasih Tuhan, kami di Bali sudah ada uskup baru!

Romo San Jadi Uskup Denpasar


KUPANG, PK -- Takhta Suci Vatikan telah menunjuk Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret-Maumere, Kabupaten Sikka, Romo Dr. Silvester San, Pr, menjadi Uskup Denpasar keenam menggantikan mendiang Mgr. Benyamin Bria, Pr. Paus Benediktus XVI mengumumkan pengangkatan Romo San di Vatikan, Sabtu (22/11/2008) pukul 12.00 waktu setempat (Roma, Italia) atau sekitar pukul 18.00 Wita.
Demikian informasi yang dihimpun Pos Kupang dari beberapa sumber semalam. Administrator Keuskupan Denpasar, P. Yoseph Wora, SVD, yang dihubungi Pos Kupang melalui hand-phone (HP)-nya dari Kupang ke Denpasar semalam mengatakan, umat Keuskupan Denpasar menyambut gembira penunjukan Romo San menjadi Uskup Denpasar. "Kami sudah sampaikan kepada semua pastor agar mengumumkan berita gembira ini hari Minggu (23/11/2008) dalam perayaan misa di gerejanya masing-masing, termasuk di Gereja Kathedral Denpasar," kata Pater Yoseph Wora.
Suasana gembira juga dirasakan komunitas Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Sikka. Salah seorang pembina di seminari yang mendidik calon imam diosesan ini, Romo Siprianus Hormat, Lic, menuturkan, para frater dan seluruh keluarga besar Ritapiret sudah mendengar pengumuman itu segera setelah takhta suci resmi mengumumkan penunjukan Romo San sebagai Uskup Denpasar.
"Bapak Uskup Maumere (Mgr. Kherubim Parera, SVD) yang meminta agar para frater harus mengetahui lebih dahulu hari ini. Karena itu, tadi di kapela ketika hendak latihan nyanyi, Romo Herman Yosef sudah membacakan kabar gembira tersebut. Suasana gembira sangat terasa sampai di meja makan dan jam rekreasi sekarang," kata imam asal Keuskupan Ruteng tersebut sekitar pukul 20.00 Wita.
Ia menjelaskan, Romo San adalah imam yang dari semua aspek pantas menjadi gembala umat. Menurutnya, ia mengenal Romo San sebagai dosen dan pendamping selama dirinya dibina di Ritapiret dan selanjutnya sebagai rekan pendamping saat ini. "Kepribadiannya yang kebapakan, disiplin dalam segala hal, tegas dan komunikatif. Romo San juga punya latar belakang akademik yang bagus (doktor dalam bidang kitab suci), anggota Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dan dosen di STFK Ledalero," tambahnya.
P. Yoseph Wora mengatakan, dengan pengangkatan Romo Dr. Silvester San menjadi Uskup Denpasar, berarti sudah enam uskup yang memimpin Keuskupan Denpasar. Uskup pertama, Mgr. Hermens, SVD (sebagai Perfect Apostolik), berturut-turut Mgr. Paulus Sani Kleden, SVD, Mgr. Antonius Theisen, SVD, Mgr. Vitalis Djebarus, SVD, dan Mgr. Benyamin Yosef Bria, Pr.
Untuk diketahui, Mgr. Benyamin Yosef Bria, Pr, meninggal dunia di sebuah Rumah Sakit Mount Elisabeth - Singapura, 18 September 2007. Ia meninggal pada usia 51 tahun akibat penyakit lever yang dideritanya.Keuskupan Denpasar mencakup Propinsi Bali yang mayoritas Hindu dan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mayoritas Islam. Keuskupan itu memiliki 24 paroki dan umat Katolik berjumlah 32.000 jiwa dari 6,9 juta total penduduk di kedua propinsi itu. (dar)


Sumber: Pos Kupang

Mgr Sylvester San Tungga : Uskup Baru Keuskupan Denpasar (Mgr Puja)


Teman-teman Ytk.,
SMS telah saya terima dari Nuncio, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Leopoldo Girelli tentang pengangkatan Rama Sylvester San Tungga menjadi Uskup Keuskupan Denpasar Bali.


"Excellency, I am pleased to inform you that the Holy Father has appointed as Bishop of Denpasar the Rev. Silvester San, currently Rector of Major Seminary, Ritapiret. The announcement is today, noontime in Rome, 6.00 PM in Jakarta. Until that time the news is embargoed. Regards, Nuncio", 22/11/2008 8:52 am


Siang hari baru saya haturkan limpah terimakasih kepada Nuncio atas informasi tersebut.
"Your Excellency, thanks a lot for the information. May God be glorified. Best regards," + J. Pujasumarta 22/11/2008 11:28 am

Pengangkatan Uskup Keuskupan Denpasar terjadi karena Tahta Keuskupan Denpasar kosong sejak wafat Mgr. Benjamin Yosef Bria di RS Mount Elisabeth Singapura, 18 September 2007, pada usia 51 tahun.
Rama Sylvester San Tungga menjadi Rektor Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret yang dibangun pada tahun 1955.

Semoga Tuhan dimuliakan, dan dengan demikian seluruh alam raya bersuka cita dalam Tuhan. Proficiat umat Keuskupan Denpasar Bali. Salam, doa 'n Berkat Tuhan.

Sumber: www.ratnaariani.wordpress.com

Mgr. Tung Kiem San : Dalam Doa Saya Menjawab YA

PAUS Benediktus XVI telah resmi menunjuk Romo Dr. Silvester San, Pr, sebagai Uskup Denpasar, Sabtu (22/11/2008) . Semalam wartawan Pos Kupang di Maumere, Novemy Leo, mewawancarai Romo San melalui hand phone-nya. Berikut petikan wawancara tersebut:

Pos Kupang (PK) : Selamat malam Romo San. Proficiat untuk tugas baru sebagai Uskup Denpasar. Bisa disampaikan seperti apa perasaan Romo sekarang?
Romo San: Saya kaget dan seperti sudah saya sampaikan kepada Duta Vatikan untuk Indonesia (Mgr. Leopoldo Girelli, Red). Saya merasa berat menerima tugas baru ini. Apalagi saya belum mengenal dengan baik wilayah Keuskupan Denpasar. Tetapi saya percaya, dukungan umat dan para imam akan membantu saya menggembalakan umat di Keuskupan Denpasar.
PK: Sejak kapan Romo mengetahui informasi ini?
Romo San: Saya sudah mengetahui kabar itu dari Duta Vatikan, Selasa (18/11/2008) siang
PK: Bagaimana reaksi awal Romo saat itu?
Romo San: Pada saat mendengar kabar itu, saya terkejut, kaget dan spontan menolak. Namun beliau (Duta Vatikan, Red) mengatakan kepada saya untuk tidak langsung memberikan jawaban. Duta Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Leopoldo Girelli meminta saya untuk merenungkan dalam doa dan memberi jawaban malam harinya. Pada malam harinya, saya menelepon Mgr. Leopoldo, dan tetap menyatakan keberatan. Tetapi, dia masih meminta saya untuk merenung, berdoa dan refleksi lagi agar bisa memberikan jawaban keesokan harinya. Lalu, keesokan harinya, Rabu pagi, saya menerima sebagai tanda ketaatan dan kepatuhan saya terhadap Takhta Suci Vatikan.
PK: Barangkali ada sesuatu hal yang mau disampaikan Romo?
Romo San: Berita ini rencananya disampaikan kepada seluruh umat di Keuskupan Maumere, Keuskupan Agung Ende dan Keuskupan Denpasar, besok (hari ini, Minggu, 23/11/2008 -Red) melalui mimbar gereja dan melalui radio setempat. Di Ritapiret sudah diumumkan Sabtu (22/11/2008) di Kapela Seminari dan seluruh komunitas menyambut gembira pengumuman ini.Akhirnya, seperti sudah saya sampaikan pada awal tadi, saya menyatakan persetujuan saya karena saya menyadari ada umat dan rekan imam yang mendukung saya dalam mengemban tugas baru sebagai gembala umat.
Biografi :

* Nama Lengkap : Dr. Silvester Tung Kiem San, Pr. (dipanggil Romo Silvester San atau Romo San, kini Mgr Silvester atau Mgr San)
* Tempat/Tanggal Lahir : Mauponggo, 11 Juli 1961- Anak ketiga dari sembilan bersaudara
* Ayah : Roben Robo* Ibu : Katharina Nere
* Pendidikan:- SDK Maukeli, Ngada- Seminari Toda Belu- Mataloko (SMP-SMA) 1974-1980- Tahun Rohani di Ritapiret, Kabupaten Sikka tahun 1980- Studi Filsafat dan Teologi di STFK Ledalero, Kabupaten Sikka
* Tahbisan imam: 29 Juli 1988 oleh Mgr. Donatus Djagom, SVD, di Maumere (dalam rangka perayaan tahun Maria) sebagai imam projo Keuskupan Agung Ende.
* Kembali ke Mataloko sebagai Pastor Pembantu Paroki Roh Kudus sambil mengajar di Seminari Mataloko selama dua tahun.
* Melanjutkan studi ke Roma pada Universitas Urbanianum, Spesialisasi Teologi Biblis.
* Gelar Licenciat diperoleh tahun 1992 dengan tesis The Mercy of God in the Parables of Luke 15.
* Kembali ke Ritapiret. Setelah sejenak kembali ke Ritapiret sebagai Pembina para Frater dan pengajar di STFK Ledalero.
* Kembali ke Roma pada tahun 1995 untuk melanjutkan studi program S3 pada Universitas Urbanianum dalam Teologi Biblis , sampai selesai pada tahun 1997 dengan tesis The Experience of the Risen Lord in Luke 24: 1-35.
* Kembali dari Roma pada tahun 1998 dan menjadi pengajar di STFK Ledalero dan pembina Frater di Ritapiret.
* Pada tanggal 11 Desember 2004 diangkat menjadi Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret periode 2004-2007.
* Diangkat lagi Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret periode kedua pada tahun 2007 - sekarang.
* Dipilih sebagai Uskup Denpasar (22 November 2008)
(Sumber Utama: Sosok Alumni Seminari Mataloko. Seribu Wajah Satu Hati)

Senin, 24 November 2008

USKUP SAN DARI MAUKELI

Suasana gembira hadir dalam diri dan hati segenap umat Paroki Maukeli dan umat Keuskupan Denpasar. Romo Silvester San, Pr, Putera Maukeli ditunjuk oleh Tahta Suci Vatican sebagai Uskup Denpasar. Berita gembira tersebut juga saya dan keluarga Besar Maukeli Jakarta & Banten rasakan ditengah resepsi pernikahan Lestin (Liwo) di Cikenda. Beberapa sanak keluarga mendapat informasi dari Rm Cyl Meo Mali, Pr.
Sosok Rm. San (Praeses Seminari Ritapiret Maumere) tidak asing bagi masyarakat Nagekeo - Ngada dan sekitarnya. Ayahanda Rm. San adalah seorang pengusaha sukses dengan armada angkutan SUTERA ALAM.

Sosok rendah hati dan murah senyum dan bersahaja dari Rm. San begitu membekas dalam diri setiap orang yang pernah bertemu dengannya. Beberapa cerita menarik tentang Rm. San saya peroleh dari beberapa Kakak Tingkat saya di Seminari Todabelu.
Saya dan beberapa teman pernah "meramal" kalau Rm. San akan menjadi seorang Uskup. Dalam pembicaraan di "warung kopi", kami sempat membicarakan profil Rm. San yang punya kharisma sebagai seorang gembala.
Cerita menarik tentang Rm. San juga saya peroleh dari kerabat saya, kalau Rm. San saat masih kecil dan saat di Seminari Mataloko sering menjadi ana wi kaba (penarik kerbau saat membajak sawah atau ladang). Ana wi kaba akan selalu menjadi sumber kemarahan bagi Juru Luku (tukang bajak sawah) kalau saat menari kerbau tidak sesuai dengan jalur bajak...
Akhirnya seorang Ana Wi Kaba jadi seorang Uskup.....
Selamat melayani Bapak Uskup. Doa kami menyertaimu.
Kaju Bhaga Rala , Tau KuA BuA Rua
Tali PEte NEte, Tau FEta BEta wutu.

Jumat, 21 November 2008

Uncivilized People

Akhir-akhir ini Petugas Kantib ramai melakukan razia terhadap perokok yang merokok tidak pada tempatnya. Banyak yang ditangkap di tempat-tempat umum. Media massa ramai memberitakan kegiatan ini......Banyak komentar yang menyatakan setuju dengan kegiatan tersebut. Adapula sebagian orang yang merasa pesimis dengan keberhasilan program ini.......
Petugas Kepolisian juga saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan razia terhadap preman.... (asal kata Preman dari mana ya.....???) Beberapa komentar mengatakan pesemis dengan Ada info juga kalau Polri juga akan membangun pos-pos pengamanan preman di tempat-tempat yang dianggap rawan.
Teman saya memberi nama bagi orang yang merokok, membuang sampah tidak pada tempatnya sebagai Uncivilized People. Mungkin ada benarnya, kalau orang orang yang merokok, membuang sampah tidak pada tempatnya adalah orang yang tidak beradab.......
Ada juga perilaku yang tidak beradab adalah orang yang menelepon sembari berkendaraan.........
Ha.....ha.... Weke....kekek...kekek Apalagi koruptor.......

Tu'u" Belis di Nusa Lontar

SELAMA beratus tahun, kematian dan pernikahan di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, adalah pesta pora. Bukan pesta biasa, tetapi ritual minum dan makan daging berhari-hari. Puluhan hingga ratusan domba, babi, sapi, atau kuda dikorbankan.Bagi keluarga bangsawan, itulah waktunya ”mengerahkan” sumber daya untuk pesta bernilai ratusan juta rupiah. Kemeriahan pesta adalah mutlak, tak peduli empunya pesta si kaya atau miskin. Kemeriahan tak mengenal status ekonomi. Semakin tinggi status sosial keluarga, pesta makin meriah. Seperti dialami keluarga Tolasik, salah seorang bangsawan di Kota Ba’a (sekarang nama ibu kota kabupaten).
Ratusan ternak dikorbankan bagi pesta kematian. Tiada hari tanpa makan daging dan minum. ”Dari keluarga menyiapkan 60 ekor kerbau dan babi, belum termasuk ternak sumbangan,” kata Meslik Tolasik, salah satu cucu mendiang, ketika dikunjungi Kompas dan tim dari World Vision Indonesia (WVI) akhir September 2008.Secara adat, ”genderang” pesta kematian ditabuh saat buka neneik (tikar), sesaat setelah ada anggota keluarga meninggal. Berhari-hari, kerabat, kenalan, dan tokoh sebaya anggota keluarga yang meninggal duduk- duduk, ngobrol, dan berpantun mengenang mendiang.
Sementara itu, rangkaian pesta pernikahan dimulai saat kedua keluarga calon mempelai memastikan tanggal pernikahan. Saat itulah besaran belis (mas kawin) diketahui.Umumnya, belis mencapai Rp 20 jutaan, yang ditanggung keluarga besar melalui serangkaian pertemuan tu’u belis (kumpul ongkos kawin). Tahapan itu untuk memastikan kesanggupan kerabat soal besaran sumbangan.Sumbangan, baik uang maupun ternak, dicatat; nama penyumbang, jumlah uang, hingga kondisi ternak (lingkar perut atau gemuk-tidaknya ternak). Pada setiap tahapan tu’u, pesta daging tak pernah absen.Setidaknya ada tiga tahapan tu’u belis, yakni tu’u daftar (mendaftar keluarga yang akan diundang), tu’u kumpul keluarga (membicarakan sumbangan yang akan diberikan), dan tu’u penyetoran (menyerahkan sumbangan). Barulah puncak acara tiba; pesta nikah.Nama penyumbang dan sumbangan disimpan rapi untuk pengembalian.
Mengembalikan sumbangan wajib hukumnya. Kalau tidak? ”Yang bersangkutan akan dipermalukan dengan pengumuman saat pesta,” kata Maneleo (kepala suku) Nusak Ba’a John Ndolu (45).Saling sumbang bernilai jutaan rupiah menjerumuskan warga pada jeratan utang, yang bahkan diwariskan. Dengan kata lain, mempelai langsung menanggung utang secara adat.
Di Rote, tak sedikit kasus putus sekolah karena tak ada biaya. Namun, jangan sampai tak ada uang untuk menyumbang pesta.Untuk pesta kematian atau pernikahan, tak ada istilah miskin. Warga lebih malu tiada pesta daripada anak-anaknya putus sekolah. ”Bisa dibilang, orang pergi bekerja bukan untuk uang sekolah, tetapi membayar ketentuan adat,” kata Kepala Desa Oelunggu Adrianus Tulle.
Angin perubahan
Beratus tahun eksis, berembus angin perubahan budaya tu’u belis kematian dan pernikahan. Kelompok pembaru atau perevitalisasi budaya muncul.John Ndolu, Maneleo Nusak Ba’a, adalah tokoh di balik itu. ”Kami hanya menyederhanakan praktik-praktik budaya yang berlebihan. Nilai-nilainya tetap bertahan,” kata maneleo, pilihan warga pada Januari 2006 itu.
Revitalisasi budaya didukung WVI, organisasi nirlaba yang di antaranya mendukung pendidikan dan nutrisi anak. Pesta pora kematian dan pernikahan melanggengkan kemiskinan. ”Kesejahteraan warga dan pendidikan anak-anak terkena dampaknya,” kata Manajer WVI Program Rote Sugiyarto. Cikal bakal WVI di Rote hampir 15 tahun lalu.Revitalisasi budaya memangkas ongkos pesta belasan juta rupiah. Mas kawin yang dulunya Rp 20 jutaan, disepakati warga cukup Rp 3,65 juta. Pesta pun disepakati sekali dengan menyembelih satu hewan besar dan satu hewan kecil. Dulu, minimal puluhan ekor! ”Pesta pada saat ucapan syukur,” kata John.
Pesta daging pada setiap kumpul keluarga pun ditiadakan. Jika ada, cukup kue dan teh.Penerimaan warga di luar dugaan, termasuk kerelaan hati memutihkan piutang ternak yang dulu mereka sumbangkan. Sanksi pun diatur, berupa denda Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Contoh pelanggaran, menyembelih ternak berlebihan, atau menyediakan daging mentah untuk dibawa pulang.”Beberapa orang pernah mencoba melanggar, termasuk menyuap saya dengan bawaan daging mentah. Saya tolak!” kata John. Perlahan tetapi pasti, revitalisasi dipatuhi.
Sejak tahun 2003
Revitalisasi budaya di Rote dimulai tahun 2003. Gerakan itu makin kuat ketika John Ndolu terpilih sebagai Maneleo Nusak Ba’a. Ia memimpin lima leo (kumpulan marga), setara dengan sekitar 1.200-an keluarga.Dimulai komunitas warga Kunak, lima tahun lalu, kini tiga nusak mengadopsi (nusak Lole, Ba’a, dan Lelain atau Lobalaen). Rote Ndao terdiri atas 19 nusak.Saat ini, sejumlah nusak mulai merevitalisasi meskipun belum sepenuhnya. Namun, lebih banyak nusak yang masih menolak. Beberapa warga asli Rote di luar pulau pun masih ada yang menolak. Satu alasan, warisan leluhur patut terus dijaga.
Sebenarnya, pesta kematian dan pernikahan masih dijalankan warga ”Nusa Lontar”. Mereka hanya ingin memutus rantai kemiskinan.
(Sumber : kompas.com/19 November 2008)

Kamis, 20 November 2008

Kebutuhan SDM Berkualitas di Bidang Kepariwisataan Merambah pada Tingkat Perencana, Peneliti, dan Akademis

Menbudpar Jero Wacik mengingatkan, tuntutan akan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas di bidang kepariwisataan kini tidak hanya pada tingkat pelayanan saja, melainkan sudah merambah pada tingkat perencana, peneliti, dan tingkat akademis. Oleh karena itu, dengan diakuinya ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri akan menjadi prasyarat dalam memenuhi tuntutan tersebut.

"Pangakuan formal terhadap status keilmuan pariwisata hanyalah merupakan salah satu prasyarat dari tumbuh-kembangnya ilmu pariwisata. Pengakuan sesungguhnya akan datang dari masyarakat, dan akan diuji oleh waktu," kata Menbudpar Jero dalam sambutannya pada acara Penyerahan Statuta kepada Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bali, I Made Sudjana, SE,MM di Kampus STP di Nusa Dua, Bali, Jumat pagi (14/11).


Statuta tersebut adalah sebagai pedoman dasar penyelenggaraan kegiatan yang dipakai menjadi bahan acuan untuk merencanakan, mengembangkan program, dan penyelenggaraan fungsional STP Bali sesuai dengan yang diamanahkan oleh Peraturan Pemerinah (PP) No.60 Tahun 1999. Secara resmi pada 31 Maret 2008 Ditjen Pendidikan Tinggi Diknas telah menerbitkan rekomendasi pembukaan program studi strata satu (S-1) pariwisata pada STP Bali dan STP Bandung. Dengan terbitnya surat rekomendasi itu sekaligus telah mensejajarkan Ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri.


Upaya untuk mensejajarkan ilmu pariwisata dengan ilmu-ilmu lainnya pernah diprakarsai oleh para praktisi dan pakar di tahun 1980-an, namun di era itu usaha tersebut telah membentur tembok yang kokoh; sehingga pariwisata telah diputuskan bukan merupakan suatu disiplin ilmu. Pada saat saya mulai memimpin Depbudpar, saya minta kepada jajaran saya, khususnya kepada Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata untuk kembali memperjuangkan usaha yang sudah pernah dilakukan oleh para pakar dan praktisi di era 80-an, agar pariwisata dapat diakui sebagai ilmu mandiri mengingat kebutuhan SDM yang handal dan berkualitas di semua tingkatan sudah sangat dibutuhkan, kata Menbudpar. Upaya itu juga diikuti para stakeholder pariwisata yang melakukan Deklarasi Ilmu Pariwisata di gedung Sapta Pesona Jakarta pada 24 Agustus 2006, dan puncak dari perjuangan itu pada 31 Maret 2008, akhirnya ilmu pariwisata diakui sebagai ilmu mandiri.


Menbudpar mengharapkan, STP Bali yang berada di bawah naungan Depbudpar, harus terus menerus mengupayakan dirinya menjadi salah satu pusat keunggulan akademik, memiliki daya saing, internasional, penggerak modernisasi dan pembaruan. (Pusformas)

'Visit Indonesia Year: MICE & Marine Tourism' Tahun 2009 Sebagai Kelanjutan Program VIY 2008

Pemerintah (Depbudpar) bersama pelaku bisnis, asosiasi, dan para pemangku kepentingan (stakeholder) pariwisata telah sepakat untuk melanjutkan program Visit Indonesia Year (VIY) 2008 pada tahun depan (2009) dengan fokus pada MICE dan marine tourism.
"Program VIY 2008 kita lanjutkan pada tahun 2009 dengan Visit Indonesia Year: MICE and Marine Tourism. Dua produk unggulan; wisata bahari dan wisata konvensi menjadi primadona untuk meraih target 8 juta kunjungan wisman tahun 2009," kata DR.Sapta Nirwandar, Dirjen Pemasaran Depbudpar kepada pers di gedung Sapta Pesona Jakarta, Rabu (5/11) sehubungan akan diselenggarakannya "2nd Internasional Conference on Intellectual Property and the Creative Industries dan Seminar Nasional Perlindungan dan Pengembangan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional" di Bali pada 2-4 Desember 2008.
Menurut Sapta Nirwandar, program Visit Indonesia Year: MICE and Marine Tourism cukup kuat dan relevan mengingat tahun 2009 Indonesia akan melakukan pesta demokrasi (Pemilu) dan menjadi tuan rumah konferensi dunia World Ocean Conference (WOC) di Manado, Sulut.

Konfensi WIPO: Kegiatan konferensi internasional "2nd Internasional Conference on Intellectual Property and the Creative Industries" yang akan diikuti 300 peserta dari 13 negara tersebut merupakan hasil kerjasama Depbudpar, Depkumham, dan World Intellectual Property Organisation (WIPO) "organisasi di bawah PBB yang dibentuk tahun 1967.
Sejumlah isu aktual mengenai Hak Kekayaan Intelektual yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral sebagai pengakuan akan karya dan daya kreasi seseorang/kelompok/perusahaan, serta nilai ekonomi di mana karya tersebut menjadi suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan sehingga memberikan nilai tambah ekonomi bagi si penciptanya akan dibahas dalam konferensi tersebut. Konferensi pertama Intellectual Property and the Creative Industries diadakan WIPO tahun 2007 di Jenewa, Swiss.


Dirjen Pemasaran Sapta Nirwandar menilai, konferensi internasional ini selain akan memberikan wawasan dan informasi kepada kita mengenai perkembangan Hak Kekayaan Intelektual secara internasional, juga memberi dampak positif terhadap pariwisata terutama untuk kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) di Indonesia dan Visit Indonesia Year 2008. (Pusformas)

Sumber : www.budpar.go.id

Empat Kawasan Wisata di NTT













Kamis, 20 November 2008 07:27 WIB

KUPANG, KAMIS - Tahukah Anda provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terdiri 19 kabupaten/kota telah dibagi menjadi empat kawasan wisata. Plt.Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya NTT, Emanuel Kara, di Kupang, Rabu (19/11) mengatakan bahwa hal ini terkait dengan permintaan Gubernur NTT perlunya dipikirkan sebuah kawasan wisata mulai dari ujung Pulau Flores sampai Lembata dan Pulau Timor, Sumba, Alor dan Rote.

Klaster pertama terdiri atas Pulau Timor yang meliputi Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu, wilayah yang berbatasan dengan negara Timor Leste.

Klaster kedua meliputi Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada dan Nagekeo dan klaster ketiga meliputi Ende, Sikka, Flores Timur dan Kabupaten Lembata.

Klaster ke-empat meliputi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Sumba Timur. "Jadi seluruh pulau Sumba masuk dalam satu klaster atau kawasan wisata," katanya.

Penetapan klaster ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan termasuk icon daerah. Klaster dua yang meliputi wilayah Manggarai secara keseluruhan termasuk Ngada dan Nagekeo, misalnya, iconnya adalah Taman Nasional Komodo (TNK). Klaster tiga yang meliputi Ende, Sikka, Flores Timur dan Lembata, dengan icon Danau tiga warna Kelimuti, di Flores Timur ada Prosesi Jumat Agung dan di Sikka ada Taman Lautnya serta Lembata dengan penangkapan ikan Paus secara tradisional. "Kalau untuk wilayah Sumba difokuskan pada wisata budaya, sedangkan di daratan Pulau Timor dengan perkampungan adat di Boti, juga ekowisata di daerah pengunungan Mutis, Alor dengan Taman Laut dan Rote dengan Nambrela," katanya. Dengan demikian sudah ditetapkan kawasan pariwisata disertai dengan icon-iconnya. Ini untuk menarik wisatawan mengunjungi kawasan-kawasan wisata tersebut, katanya.

Dengan dibukanya kawasan wisata ini sesungguhnya membuka peluang di bidang investasi, seperti perhotelan dan rumah-rumah makan. Saat ini pemerintah tinggal memfokuskan pembangunan infrastruktur pendukungnya. Artinya, aksesibilitas dari dan ke obyek wisata harus dibangun, katanya.

Rabu, 19 November 2008

Menjaga Sikap dan Perilaku

Hari ini saya mengajar dan asistensi untuk 3 mata kuliah. Itulah jadwal mengajar dan asistensi saya setiap hari Rabu. Kadang-kadang sangat melelahkan.
Untuk Mata Kuliah Geografi Pariwisata Indonesia, kelompok Propinsi Kalimantan Timur (MBP) berkesempatan untuk presentasi potensi pariwisata di Kaltim.
kami selalu menemukan permasalahan untuk kegiatan presentasi yakni in focus/projector. STPB punya lebih dari 5 buah in focus. Jurusan punya satu in focus yang bisa dibawa ke mana dan satunya lagi yang statis, ada di "bis mogok" (istilah untuk bis simulasi). Kami selalu melakukan presentasi di bis mogok. Akhir-akhir ini in focus yang di bis mogok selalu bermasalah. Kami berusaha untuk menghubungi teknisinya. Jawaban dari Teknis bahwa In focus harus "masuk bengkel dulu". Tentu ini akan sangat mengganggu proses belajar mengajar. Pertanyaannya, apakah kita selalu terbelenggu oleh bantuan teknologi.....?
Ternyata tidak selalu. ....Akhirnya Kelompok Kaltim melakukan presentasi sambil membawa/"menggendong" laptop. Memang sedikit terganggu, tetapi cukup efektif untuk dapat menyampaikan "pesan" kepada pendengar (teman-teman mahasiswa).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Mahasiswa MBK. walaupun tanpa in focus, mereka dapat menyampaikan pesan/informasi kepada pendengarnya. Mereka membawa contoh pakaian ada dari Sulsel dan mengintepretasikan secara menarik... Luar biasa....
Jam terakhir kuliah yakni tentang Pengantar Industri Transportasi/Transportasi Udara. Saya sempat "menyentil" beberapa mahasiswa yang kurang disiplin dan menjada perilaku di dalam kelas. Saya membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang merasa bosan untuk mengikuti perkuliahan ini. Kita juga harus menghargai mereka yang benar-benar ingin belajar tentang mata kuliah ini. (Selalu ada buah yang buruk dari sebatang pohon. tinggal bagaimana kita akan apakan buah yang buruk tersebut.....!!! Mereka tetap harus kita bimbing dan arahkan).
Saya menggunakan waktu sepuluh menti terakhir untuk menyentil. Pada saat akhir perkuliahan, salah seorang mahasiswa menghampiri saya dan minta maaf atas "kenakalan"nya. Salut untuk dia.....
Menjaga sikap dan perilaku di setiap saat, kondisi dan situasi memang penting.......

Selasa, 18 November 2008

Ecotourism

The International Ecotourism Society states that: Ecotourism is a responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of the local. From the definition, it is evidence that the main object of ecotourism is natural areas. The development and exploitation of ecotourism should conserve or preserve the local ecology and its habitants and generate welfare to the present and future generations of the host communities.

Ecotourism is a fast-growing sector of tourism industry which emphasizes ecology or environmental attractions. Ecotourism invites and takes tourists to remote and natural areas for the purpose of having specific experience. It is also well-known as “back to the nature tourism” (McIntosh, et al. 1984 : 177). Ecotourism offers an outstanding potency to generate state revenue, private sector investment, employment, and other social and economic benefits. Ecotourism also provides incentive for the conservation and sustainable management of public and private lands.

Ecotourism is one of the applications of ecological conservation and development in which its development and preservation provides potential economic benefits to the host communities. (Stem, et all. 2003 : 322) There should be an integrated and mutual relationship between the host communities and the preserved area. It means that the host communities may not exploit the preserved area liberally and may not be consumptive to it. The exploitation made should be appropriately and accordingly done and arises a modest negative impact. Meanwhile this concept is very difficult to be implemented in ecotourism since practically ecotourism arises numerous negative impacts to both host communities and ecology such as; habitat demolition, path erosion and social and cultural illness.

Ironically, those negative impacts are caused by the success of the ecotourism itself. When ecotourism is developing, the number of visiting guests will increase automatically and not all of those guests concern about ecology. For those who does not concern about ecology will disturb and exploit the ecology.

More recently, ecotourism is defined as natural-based tourism that involves interpretation of the natural and cultural environment and ecologically sustainable management of the natural areas. More specific, Hall (2003) states that: Ecotourism is seen as ecologically and socially responsible, and as fostering environmental appreciation and awareness. It is based on the enjoyment of nature with minimal environmental impacts. The education element of ecotourism, which enhances understanding of natural environment and ecological processes, distinguishes it from adventure travel and sight seeing.

From the statement above, it can be described that the development of ecotourism should be addressed to keep the harmony relation between the local environment and social life. Therefore, they should respect and appreciate each other. The host communities can exploit and enjoy the environment as long as it does not arise negative impacts for the environment. To achieve the harmony relationship between the environment and the host communities, the government should be active to give education about positive and negative impacts of ecotourism to the host communities and related ecotourism enterprises through meeting, dialogue and speech. And ecotourism must be strictly distinguished from adventure activities or sightseeing because ecotourism performs the natural objects and their habitats which may not be disturbed by the visitors.

There are two main areas of ecotourism such as; natural environmental-based ecotourism and man-made-based ecotourism. Natural environmental-based ecotourism uses natural resources as the object of the tourism such as; lakes, rivers, rainforest, native animals etc. Meanwhile man-made-based ecotourism uses man-made resources such as; parks, zoo, etc. from these two types, the guests usually prefer to visit the natural-based ecotourism because it performs natural beauty and habitats of the nature (Jackson, 1989 : 129-142).

In Bali, ecotourism which is grown in Tamblingan Lake is one of the natural-based eco tourisms. It uses natural resources which available around the area such as; forest, temples, lake, vegetation plantations. Another example for ecotourism development is mangrove forest ecotourism which is developed in Pemogan Village, South Denpasar District, Denpasar City belongs to one of the man-made-based eco tourisms. It is developed and managed by the Mangrove Information Center (MIC) where its projects funded by the Japan International Corporation Agency (JICA). Some habitats are deliberately grown such as; mangrove trees, crabs, lizard, fishes, birds, etc. Primarily, the project was aimed at conserving the mangrove forest which has been unwisely used by the local community for certain purposes such as; fishpond, shop-house, and reclamation.

The development of ecotourism is not always successful, however it sometimes fails to achieve the authentic goal of ecotourism because it causes many negative impacts such as; solid waste generation, habitant disturbance and forest degradation which is caused by the path erosion. Therefore, ecotourism may not be overdeveloped and visited by many tourists at the same time. Moreover it sometimes fails to give economic benefits because the profit achieved is not accepted by the local communities (McIntosh, et al. 1984 : 383).
As one of the alternative tourism programs, ecotourism may not be developed to be mass tourism. As explained above that when it is visited by many guests, ecotourism will arise various negative impacts. The management of enterprises which develop ecotourism should be able to arrange and manage the number of visitors well. For example, the object of ecotourism may just be visited by 100 guests per day and their visit must be divided into ten rounds. It means that each round consists of ten guests. It helps the eco tour guide to control his guests and give definite and clear information to the guests and the guest will be satisfied automatically due to get an interesting tour and complete information about the object.

Ecotourism provides compromised economic benefits to the host communities in the form of employments, infrastructure improvements, and local business motivations. The host communities can be employed as staff of the ecotourism enterprises such as; operation staff, ticketing attendant, tour guide, security, etc. Due to the importance of the ecotourism enterprises, the local infrastructures such as; road, pavement, water and power systems will be automatically improved and well maintained. The host communities are also able to run certain kinds of supporting tourism businesses such as; accommodations, restaurants, café shops, souvenir shops, etc. Ecotourism development also supports the preserved areas financially through the entrance fee paid by the tourists.

Costa Rica is one of the countries in the world which grows tourism industries. Tourism and ecotourism are the main source of the national revenue for the last two decades (WTO, 2002). Corcovado National Park and Piedras Blancas National Park are the two objects of ecotourism which are located in isolated places and difficult accessibility. Corcovado National Park is the largest remnant of tropical forest and has wide range of habitats inside. It attracts the guests who are interested in having more experience in the rainforest. Blancas National Park is located in the marine territory which creates biological corridor with Corcovado National Park. These two parks involve the local people as conservation guards. Compare with the development of ecotourism in Bali particularly in Tamblingan Lake in Buleleng Regency, the preserved or conserved area is not quite well maintained. The path is very massy and some of the soil is washed away. However, the sacred objects (temples) which are available inside are well kept by the Desa Adat (customary village). It means that the host communities also play many roles in its development. Some of the villagers are employed as conservation guards, tour guides, parking attendants and some of them have chances to run their own businesses such as opening restaurants, shops, etc. This involvement is very benefit for the host communities.
The involvement of the host communities in Costa Rica is able to improve their lives. Moreover the host communities are suggested to involve more than now by interacting directly to the guests who visit the objects. For example by raising up and performing the local culture and social history to the guests. And the local communities are also suggested to run businesses which provide local products at reasonable prices.To achieve the goal of ecotourism, the reformation of policies is highly required. For examples; prohibition of cutting the preserved trees for the household needs and prohibition of hunting the preserved habitats. Those are great threat to the protected environment. The policies made should concern about protection of environmental degradations.There are ten indicators which can be used to evaluate the level of degradation of environment which is grown as ecotourism such as; garbage, weeds, disease in the environment, impact of fire from non-natural events, visitor caused erosion, vegetation trampling, hill demolition, landform erosion, non-purpose built tracks caused by off road vehicles and unlawful resident (Hall, 2003 : 384-385)

As defined in the beginning paragraph that ecotourism is a tourism which involves or uses ecology as the objects. There are three possible relationships between tourism and ecology which may occur with respect to the development eco tourism such as; conflict, coexistence and symbiosis (Hall, 2003 : 296-297). Tourism and ecology are in conflict when the running and development of tourism has disadvantageous impacts to the ecology.

Tourism and ecological conservation may exist in a situation in which the tourism and ecological conservation have a little contact. It means that there are just a little developments and administrative obstacles between the tourism and ecology. And Tourism and ecological conservation can be mutually supportive and beneficial if the tourism and ecological conservation are well organized to ensure that the tourists get benefit from their visits and the ecology can be well developed too. This relationship has economic advantages and contributes to the quality of lives of the host communities. From the three relationships above, symbiosis relationship is the most appropriate development for ecotourism.

Awareness of the relationship between tourism and the ecology occurs in both demand (tourists’ needs) and supply (ecology and its habitats) components of the tourism products. Therefore, ecotourism refers to two different dimensions of tourism; first, ecotourism is a form of special interest tourism and refers to specific market segment which concerns and is based on green and nature-based tourism. Second, ecotourism is a form of tourism development which is regarded to keep friendly relationship between the ecology and its habitats and tourism. Practically, it is extremely difficult to apply the concept above. Meanwhile, tourism enterprises always propagandize ecotourism as good, potential and desirable development of tourism.

More particular, Hall (2003) states that:”Ecotourism is a big business. It can provide foreign exchange and economic reward for the preservation of natural system and wildlife. But ecotourism also threatens to destroy the resources”.

The statement above is absolutely right. If ecotourism is grown and developed well, it will generate many benefits which are able to improve the social, economic and nature lives. Meanwhile, if tourism is developed inappropriately, it will arise many problems for the social life more particular the nature life. And even it can destroy the nature and social lives. For example; land slides, flood, erosion etc.

It is important for us to analyze and distinguish between perception and the actual impacts of the development of ecotourism. For example, “a green and clean ecology”, many people will think and believe that the ecology is healthy. However, the reality of the ecology may be very different. For example the forest conservation in Buyan Lake in Buleleng Regency, it looks very clean and green. In fact, some of the native habitats such as; antelope, birds, cocks and hens have been disappeared because they are freely taken and exploited by the local people. Some of the preserved areas have been reallocated to be camping areas and the path which is made for trekking route is passed by cars or off road cars. It surely disturbs the native habitats because of the noise and pollutant.

Wise Coastal Practices, ASEAN's Small Islands Raise Their Voice

by Warief Djajanto*

Khuraburi, Thailand (ASEAN Features) Mesia wants three things in life: a national citizenship identity card, health care, and a job at the local park. At the top of her wish list is a piece of paper that the local authorities in the southern Thai province of Phang-nga have denied her, presumably because she is a sea nomad. Mesia is a Moken.
"With a national ID card, we can go places," explains Mesia, a mother of three and grandmother to seven children. Mesia who estimates she is 45 has coffee skin and deep lines on her face that betray her long exposure to the elements.
She sells mats and baskets woven from pandanus leaves but wants to work as well at the Surin Islands National Park where she and her fellow Moken live in traditional wooden huts on an island beach.

The Moken, the Moklen and the Urak Lawoi are three groups of maritime hunter-gatherers in the Andaman Sea. Their foraging grounds are the coastal areas and islands off Myanmar running south along Thailand and to the Malay Peninsula.
Mesia and her community live in the Surin Islands, 60 kilometers due west from the port town of Khuraburi near the border with Myanmar. Khuraburi is a two-hour drive north of the popular tourist resort of Phuket.

Without ID cards, the Moken dread civil harassment when they go onshore. With ID cards, they can secure jobs and state-budgeted social rights. As sea nomads cross-national borders, the Thai authorities are reluctant to issue national ID cards to the Moken although they number only 160 in the Surin Islands. Why?"With the current conflict situation in Myanmar, the Thai government with national security in mind wouldn't want to grant citizenship for fear of an influx (of more Moken from Myanmar)," says Dr. Narumon Hinshiranan, an anthropologist at Chulalongkorn University in Bangkok whose dissertation was on Moken social and environmental interrelationships.

Another Thai academic believes more of the Moken will turn to a sedentary way of life, stay in one place, and that will give them a better chance to get recognition. But he adds a precaution. "Once we ask them to stay in one place, we're changing their culture. Is that supposed to be something we impose on them?" asks Dr. Suraphol Sudara, an expert in ecology and culture and chairman of the Seub Nakhasathien Foundation, a Bangkok-based environment NGO.
Of late, the Moken have become less nomadic. Their foraging is perceived to run counter to mainstream conservation and lead to environmental damage. But the meagre income they earn from diving for seashells, selling handicraft to tourists, and working as boat keepers and waste collectors at the park barely meets subsistence needs.

The plight of the Moken is one of several real life situations raised at a workshop in Khuraburi 25-28 Nov 2002 on wise coastal practices in Asia and the Pacific. Other than Thailand, the UNESCO-organized meeting also heard cases of two other ASEAN countries: the Philippines and Indonesia. ASEAN is the Association of Southeast Asian Nations and has 10 member states.
Participants presented to one another their country's case study on a conflict situation that affects the environment and communities in coastal areas and small islands.
They then explored means to manage that conflict with a tool called the wise practice agreement (WPA), a concept developed by UNESCO's
coastal areas and small islands programme (CSI).
The WPA is a flexible, voluntary agreement among multiple users of a resource in an area and is characterized by mutual recognition of rights to the resource. It identifies and brings together all the stakeholders concerned, including the area's local community and the government. It aims to reach an agreement on the multiple uses of the resource and establishes the rules of compliance and the means to resolve disputes.
Concerning the Moken in the Surin Islands, what ideas did the workshop participants raise to meet the desire of the Moken for citizenship rights and the national security concerns of the Thai government?

Initially, a nongovernment organization working with a university research group could serve as a neutral facilitator to seek a way out for the Moken and the Surin Islands National Park on jobs and basic facilities. Local and national government can join in an agreement at a later phase on the more complex issue of citizenship, the workshop views.
Meanwhile in the Philippines case study, the issue also amounted to conflict between national security and citizens rights.

In Ulugan Bay, in the west central island of Palawan, the Macarascas barangay (local community) is concerned about the intent of the Western Command of the Philippine military to build a naval base in the area. Ulugan Bay is strategically located 120 nautical miles due east of Mischief Reef, one of numerous reefs, shoals and islands in the South China Sea claimed by China, one of six claimant countries.

The barangay's concern relates to perceived restricted access, tenure rights, biodiversity loss, and marine pollution. Residents are also perturbed that the navy has not consulted them with regard to building the base.

"Ulugan Bay will die. The biodiversity will die because of the many ships and different projects involved," says Romia Labrador, kapitana (leader) of the Macarascas barangay, about her concern if the Western Command got its way.

To get public approval of its actions, the navy should undertake the EIA (environmental impact assessment) process, says an environment lawyer familiar with the issue. "As conceived by Philippine law, the EIA is a participatory process. All stakeholders should be consulted," says Gerthie Mayo-Anda of the Environmental Legal Assistance Center, ELAC, in Puerto Princesa City, the main town in Palawan.
A marine ecologist of the University of the Philippines agrees.
"I don't think that there will be really much of a problem if the navy only complies with what we have in the law. They have to comply to the EIA," says Prof Miguel D. Fortes of U.P.'s Marine Science Institute.
What can the navy do at the least to satisfy the people of Macarascas?
"Transparency. Very simple," answers Fortes who also is a strategic studies group fellow in the National Defense College of the Philippines that advises the defense secretary. To the same question, Kapitana Romia's reply is terse: "Leave Ulugan Bay."

In this sensitive give-and-take between the national security interests of the government and the human rights of citizens, the workshop suggests local government should play a central role. Residents could petition the mayor of Puerto Princesa City to initiate a meeting of the barangays, the military and other stakeholders affected by the proposed naval base. An independent inquiry should be conducted, the workshop attendees say.
Unlike the first two, national security dos not appear in the Indonesian case study. The dominating issue is environmental damage: Jakarta Bay and the Seribu Islands are threatened by a multitude of environmental impacts. These range from fishing with explosives and poison, sand and coral mining, to pollution from land-based sources. Every day the 20 million people of greater Jakarta, the Indonesian capital, produce 25,000 cubic meters of solid waste. One thousand cubic meters of that end up in the Bay and the Seribu Islands just north of Jakarta every 24 hours.

To reduce the amount of sewage that winds up in the Bay, the people of Banjarsari in South Jakarta show how community-based waste management has helped. This low to middle income kampung (small community) of some 290 households keeps a clean and green neighbourhood by applying the 4R principle in managing their waste: reduce, reuse, recycle and replant. Wet waste like kitchen leftovers is turned into compost to fertilize home-grown medicinal plants. Old paper is recycled. Key to this effort is public participation with the drive coming from committed community leaders.

A strong consistent leader and the same understanding by the major stakeholders on the big picture of the main problems are crucial, says Christien Ismuranty in underscoring what lessons were learned from the Jakarta Bay case study.

Given the complexity of the Bay with its multitude of issues and stakeholders, resolving its problems is like picking the right pieces of a jigsaw puzzle and placing them in the right place at the right time, says Ismuranty, a marine biologist with Kehati, the Indonesian Biodiversity Foundation in Jakarta that has supported fieldwork in the Seribu Islands.

The workshop attendees see Banjarsari as a model for community-based waste management. It was suggested that a conceptual framework could be designed to identify and address the wider issues and stakeholders of Jakarta Bay and the Seribu Islands in an integrated manner.
Using the Banjarsari experience on how to motivate people, demonstration plots could be set up to deal with specific issues based on the causal relationships identified by the conceptual framework. One plot at a coastal kampung could deal with coastal construction or waste management problems. Another plot could be established on the Seribu Islands to cope with island capacity for freshwater supply, for instance.

The
Surin Islands, Ulugan Bay, and Jakarta Bay with the Seribu Islands are a few of numerous flashpoints worldwide of what United Nations Secretary General Kofi Annan calls front-line zones where many of the main problems of environment and development are unfolding. Mesia and Romia are voices in a growing chorus from the world's small islands whose volume cannot be lowered.

* Warief Djajanto is an independent writer commissioned by the ASEAN Secretariat
Source: Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), 21 January 2003

Senin, 17 November 2008

Lelaki....Oh......Lelaki ....!!!! (Heboh Obat Kuat Lelaki)

Daftar Obat Kuat Pria yang Ditarik

1. Blue Moon - PT Pasific Helathcare Indonesia, Jakarta
2. Tripoten - PT Dexa Medica, Palembang
3. Caligula - Pabrik Jamu Air Madu, Magelang
4. Cobra X - Pabrik Jamu PI Ragil Sentosa, Cilacap
5. Kuat Tahan Lama - PD Jamu Moro Sehat, Banjarnegara
6. Lak Gao 69 - Pabrik Jamu Jaya Sakti Mandiri, Semarang
7. Lavaria - PT Rama Farma, Jakarta
8. Maca Gold - PT Paramitra Media Perkasa, Jakarta
9. Okura - PT Herbalindo Sukses Makmur, Tangerang
10. Otot Madu, PT Rama Farma, Jakarta
11. Rama Stamina - PT Rama Farma, Jakarta
12. Sanomale - PT Pyridam Farma, Cianjur
13. Sari Madu - Pabrik Jamu Sari Madu Murni
14. Sunni Jang Wang Xeong Ying (kapsul) - PT Cahaya Pil Teknologi Farmasi, Jakarta
15. Teraza - Produksi PT Rama Farma, Jakarta
16. Top One - Pabrik Jamu Paladiva, Solo
17. Urat Perkasa - Pabrik Jamu SM Jaya, Cilacap
18. Ju-mex - CV Mega Maju Mekar, Jakarta


Obat/jamu Impor

19. Hwang Di Shen Dan - PT Multi Usaha Sentosa
20. Manovel - PT Sari Sehat Q Capung Indah Abadi, Magelan.
21. Stanson - PT Rajawali Sukses, Jakarta.
22. Sunni Jang Wang Xeong Ying Dan (pil) - PT Cahaya Pil Teknologi Farmasi, Jakarta


Sumber: BPOM

Foto Audrey























Foto Audrey saat berumur 3 bulan dan foto Upacara Pembaptisan Audrey Oleh P. Boggartz, OSC di Gereja St. Laurentius Sukajadi, Bandung.





Minggu Kelabu

Hari minggu kemarin, saya dan Yusmin berencana untuk menonton pertandingan sepakbola Flobamora Cup di Arcamanik. Kami sudah berniat untuk nonton, bahkan Yusmin sudah meminta dispensasi dari atasan untuk tidak melanjutkan kegiatan outing bersama teman-teman sekantor di Sariater. Jam 12.30 kami berangkat dari Flat, Audrey tinggal bersama Bu Iin di rumah, hari mulai mendung. Tiba di depat kampus ITENAS, hujan mulai turun. Kami nekad untuk melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan untuk berhenti di dekat perempatan Cikutra. Rupanya alam benar-benar tidak bersahabat dengan kami. Akhirnya kami berketetapan hati untuk kembali ke rumah dan tidak jaid menonton pertandingan sepak bola. Kami kurang beruntung hari ini.
Senin, pagi yang berawan. Bangun kesiangan, kami (Yanto/sepupu yang baru tiba dari Surabaya dan Tetes) ngobrol hingga larut malam. Banyak topik yang dibahas, seputar permasalahan di kampung, kehidupan berkeluarga dll.
Di kantor, kami berkumpul kembali bersama Bu Soi, Bu Cuk, Pak Fsk yang baru kembali masuk kantor setelah membimbing mahasiswa dalam kegiatan fieldtrip ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Banyak cerita/khabar selama membimbing mahasiswa MBP, MPP,dan MBK selama lima hari mengunjungi obyek wisata, museum, pusat kerajinan, industri MICE, Venue Provider dll.
Ada beberapa mahasiswa yang mendapat Surat Peringatan karena terlambat, broken the rules. (Program Studi Lapangan adalah proses perkuliahan yang berlangsung di lapangan. Jadi, semua peraturan yang berlangsung selama perkuliahan tetap dijalankan.) Sayang ya, kalau jadi mahasiswa yang tidak bertanggung jawab. Padahal mereka harus memiliki tanggung jawab moral terhapar rakyat yang sudah membawar pajak dan negara yang membiayai kegiatan ini.
Studi Lapangan merupakan kegiatan yang selalu berlangsung setiap semester untuk semua mahasiswa Manajemen Perjalanan. Bu Cuk sempat kurang sehat selama kegiatan fieldtrip.
Kegiatan/program kegiatan Fieldtrip/ Studi Lapangan adalah bagian dari proses pembelajaran dan pemantapan konsepsi teoritis ke dalam alam industri dan penciptaan pengalaman lapangan yang bertujuan untuk mengkristalisasi dan mensitesa pendekatan keilmuan dan pengatahuan mahasiswa.
Salah satu manifestasi dari efektivitas program ini dapat dilihat dari kemajuan dan pengembangan pola pikir dan wawasan mahasiswa dalam visi pendiidikan dan pelatihan di Jurusan Manajemen Perjalanan di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung. Oleh karena itu, tuntutan dan kerangka pemikiran ini merupakan upaya jastifikasi terhadap komitmen pengembangan sumber daya manusia yang unggul dalam bidang industri pariwisata serta penegasan komintmen STP Bandung sebagai centre of excellent.
Dalam konteks ini, perlu dibangun dan ditumbuhkembangkan suatu instrumen metodologis pelaksanaan program studi lapangan yang meliputi: assignment project, bidding proposal, tour arrangement (pre-in-post), in field coaching/training, discussion, worksheet, report presentation, field study report) yang dilaksanakan secara teratur dan bekesinambungan sesuai asas-asas pendidikan dan pelatihan yang berkualitas.
Itu sekilas info dari kegiatan fieldtrip yang semua biaya (akomodasi, transportasi, makan minum ditanggung oleh negara, mahasiswa hanya menyediakan tambahan biaya untuk biaya yang lain-lain (makanan kecil dll). Kita selalu berharap, kegiatan Studi Lapangan ini benar-benar bermanfaat bagi mahasiswa. Sebuah penyesalan mendalam apabila pada saat di lapangan, mahasiswa tidak banyak memperhatikan dan menyimak informasi yang disajikan oleh pihak industri.
Pagi ini, saya mendapat IP Address untuk Proxi saya dipakai orang. Ada laporan bahwa terjadi conflict dengan penggunan lain yang menggunakan IP Address yang sama. Saya sudah menghubungi Pa Yayat/SIM. Beliau memintan untuk menunggu.........
Setelah menunggu beberapa jam , IP Addressku bisa dipakai lagi. Saya bisa posting tulisan ini....

AUDREY - Puteri Kami

Audrey, nama Puteri Kecil kami.
Lahir pada hari Senin tanggal 21 April 2008 (bertepatan dengan Hari Kartini bo.....) pukul 10.37 wib, di RS St. Borromeus Bandung.
Proses persalinan dibantu oleh Dr. Maximus Mudjur, Sp.OG (Dokter Ahli Kandungan dari Cancar-Manggarai.
Dokter Anak yang merawat Audrey adalah Dr. Kelly.
Nama lengkapnya: Audrey Teresia Marina Raga

Teresia dari Kanak-Kanak Yesus: Nama Baptisnya

Marina : Singkatan dari Nama Martha (Omaku/Ibu dari Mamaku) dan Catharina (Omaku/Ibu dari Bapaku)
Marina : Martina (Ibuku) dan Albinus (Ayahku)
Marina : Marsianus (Namaku) dan Yustina (Nama Istriku)
Marina juga diambil dari Namanya Alm. Arin Djo (PuteriNya Om Elias Djo dan Tante Epi Nago) yang selama di Bandung tinggal bersama kami. Kami merawatnya sejak sakit di Bandung hingga meninggal di Mbay. Pertemuan kami yang terakhir Juli 2007. Kami berjanji kalau lahir anak cewek, kami akan berikan namanya Arin. Semoga Arin beristirahat dengan damai.
Audrey berasal dari:
The name Audrey is a baby girl name. The name Audrey comes from the English origin. In English The meaning of the name Audrey is: Variant of Etheldreda: From the Old English name Aethelthryth, meaning noble and strength. Famous bearer: St Etheldreda, later known as St Audrey, founded a monastery at Ely.

AUDREY
Gender: Feminine
Usage:
English
Pronounced: AWD-ree
Modern form of
ÆÐELÞRYÐ. This was the name of a 6th-century saint who was killed by a tumour on her neck. It is also the name of a character in Shakespeare's comedy 'As You Like It'.


Audrey Definition
Au·drey (ô′drē)
noun
a feminine name
Etymology: ult. <>Audrey
Gender : (Female)
Origin : English
Meaning :
Noble strength
The meaning of the name Audrey is Noble Strength
The origin of the name Audrey is English
Audrey Hepburn, actress. Audrey Tautou, actress.


Audrey Name Stats
Audrey is on 4637 favorite name lists
8088 have rated the name Audrey
Audrey is # 51 on latest SSA List
Audrey - Name Meaning and Origin

The
boy's and girl's name Audrey \a(u)-drey, aud-rey\ is pronounced AW-dree. It is of Old English origin, and its meaning is "noble strength". Also the root, via Saint Audrey, for the word "tawdry", due to lace and goods sold at Saint Audrey's Fair in England. Saint Audrey was a sixth-century English princess also known as Etheldreda. Literary: Shakespeare used the name for Touchstone's comic sweetheart in "As You Like It". Actress Audrey Hepburn.
Audrey has 17 variant forms:
Audelia, Audene, Audessa, Audi, Audie, Audra, Audrea, Audree, Audreen, Audri, Audria, Audrie, Audrielle, Audrina, Audris, Audry and Audrye.
For more information, see also related names
Aubrey and Audriana.
Baby names that sound like Audrey are
Adrea, Adare, Adrah, Adra, Adoray, Adrie, Adria and Adreea.
Audrey is a very popular female first name and an uncommon surname (source: 1990 U.S. Census). Displayed below is the baby name popularity trend for the girl's name Audrey.
Click here to compare Audrey with related baby names.