Rabu, 23 April 2008

Masa Kuliah


Foto bersama sebagian dari teman-temanku.
Ada Oddek-Hotel Nikko Bali, Berlando-Trans TV, Anton KFC Balikpapan, Nizel- Bali, Dewi-Bali, Mahe-Telkomsel,Erick-Bali, Pulung-Carefuor dll.
Terima kasih Tuhan, Engkau anugerahkan aku kesempatan untuk kuliah.

Foto Bersama Laskar Muda STP Bandung

Padamu Almamater tercinta, kami abdikan hidup ini. Demi mendidik insan-insan pariwisata Indonesia dan Dunia.......
Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung... Go Global....

Selasa, 01 April 2008

Mbeliling Elok Terancam Pembabatan Liar


Penulis : -admin ::31 Maret 2008 3:12 WIB (www.enterflores.com)

Apa jadinya bila hutan sebagai tandon air hancur centang-perenang dan ribuan pohon meranggas mendekati ajal ? Jelas persediaan air akan berkurang. Padahal air adalah kebutuhan mendasar bagi umat manusia. Apa jadinya bila lingkungan di sekitar terancam kekeringan tanpa air? Rentetan pertanyaan tersebut membayangi-bayangi masyarakat dan kondisi hutan dataran rendah Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Beberapa waktu lalu, penulis bersama beberapa staf Burung Indonesia dan kolega dari DOF, Denmark melakukan perjalanan di kawasan hutan Mbeliling. Sebuah pemandangan cukup tragis terjadi di kawasan Puarlolo, bagian hutan Mbeliling yang berdekatan dengan pemancar relay Telkom Labuan Bajo serta paling mudah diakses dari jalan raya Trans Flores. Pepohonan rindang yang seharusnya menjadi rumah nyaman bagi tiga jenis burung endemik Flores, terlihat mulai dirambah dan ditebangi secara ilegal oleh beberapa oknum warga sekitar. Ketiga jenis burung endemik Flores yang terancam punah dan bisa dijumpai di Puarlolo adalah, Kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), Serindit Flores (Loriculus flosculus) dan Gagak flores (Corvus florensis).
“Hutan Mbeliling di bagian Puarlolo ini seharusnya dijaga masyarakat bukannya ditebangi, karena menjadi sumber mata air bagi masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat. Kalau pembabatan liar dibiarkan terus menerus hilanglah hutan dan air di sini,” kata Karell, warga Desa Liang Dara yang menyertai rombongan Burung Indonesia.
Kawasan Puarlolo bila diamati dari luar memang terlihat masih rimbun kehijauan. Namun kondisi tersebut jauh berbeda bila melangkahkan kaki masuki hutan lebih dalam. Tim Burung Indonesia sempat menjumpai, beberapa perambah hutan sambil menenteng parang hilir mudik di wilayah lindung tersebut. Pada sebuah jalan setapak menuju mata air Woval yang kiri kanannya masih ditumbuhi rumput, tergeletak potongan-potongan kayu hasil tebangan.
Ancaman perambahan dan kerusakan hutan Mbeliling juga dikuatirkan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat, Drs. Edward, SE, MM. “Kondisi hutan Mbeliling saat ini cukup mencemaskan. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat sekitar yang tak segan merambah hutan mereka sendiri. Problem ini semakin bertambah karena belum ada ketegasan dari aparat keamanan untuk menindak para pencuri kayu”
Edward mengakui, bila hanya mengandalkan instansi yang dia komandoi untuk menjaga hutan terasa cukup sulit. Apa pasalnya, Dinas Kehutanan Manggarai Barat belum memiliki Polisi Hutan (Polhut) serta minimnya sarana dan prasarana. Baru tahun 2008 ini, Dinas Kehutanan berencana merekrut 20 orang Polhut dan akan ditempatkan di daerah strategis serta rawan pembalakan hutan.
“Sebelum terbentuk satuan Polisi Hutan, saat ini butuh law enforcement kuat dari aparat keamanan yang ada. Agar timbul efek jera bagi perambah hutan,” tegas Edward.
Kawasan Konservasi
Kawasan Mbeliling dan Sano Nggoang berperan sebagai tempat perlindungan bagi tumbuh-tumbuhan endemik dan spesies-spesies burung yang khas. Beberapa spesies diketahui memiliki hubungan dengan spesies di Kalimantan, Filipina, dan Irian di masa lalu. Lebih dari 20 spesies tumbuhan baru telah dideskripsikan berdasarkan koleksi dari Mbeliling.
Hingga saat ini spesies-spesies tumbuhan tersebut hanya dijumpai di kawasan ini, termasuk perwakilan dari marga-marga baru untuk Nusa Tenggara (Urobotrya florensis dan Sympetalandra schmutzii) dan beberapa spesies pohon (Helicia sp. dan Ternstroemia sp.) serta beberapa spesies anggrek (Corybas sp. dan Coelogyme sp.) yang belum dapat dideskripsikan.
Beragam spesies tumbuhan ini menggambarkan beberapa pengetahuan yang unik mengenai proses evolusi dan biogeografi di Asia Tenggara, diantaranya merupakan bukti adanya hubungan dengan Kalimantan, Filipina, dan Irian di masa lalu.
Di Flores ada hubungan antara pola endemisitas tumbuhan dan kekhasan burung, contoh terbaik dijumpai di hutan Mbeliling. Dibandingkan kawasan konservasi lainnya di Flores, Mbeliling memiliki jumlah tertinggi untuk spesies burung yang memiliki arti penting bagi konservasi. Jumlah ini mencakup tiga dari empat spesies endemik dan 17 dari 20 spesies burung penting lainnya.
Saat ini status hutan dataran rendah Mbeliling (600-1.000 m) meliputi Hutan Lindung (72,4 km²), Hutan Konversi (41,8 km²), dan Hutan Produksi terbatas (120 km²). Mbeliling merupakan ‘rumah’ terpenting bagi burung-burung yang menjadi perhatian konservasi di Flores. Hutan yang luasnya semakin berkurang atau terdegradasi mengancam sebagian besar jenis burung-burung sebaran terbatas.
Ular buta (Typhlops schmutzii) diketahui hanya terdapat di Pulau Komodo, Flores barat termasuk hutan Mbeliling. Sungai Wai Tiunga mendukung beberapa populasi buaya muara yang secara global terancam punah. Daerah hulu sungai ini berada di pegunungan Mbeliling. Gua-gua di sekitar Dhalong mendukung beberapa populasi besar kelelawar pemakan serangga. Satu dari tikus endemik Flores, yaitu Tikus raksasa Flores hidup di kawasan Mbeliling.
Mbeliling dan Sano Nggoang memiliki sejarah penelitian yang penting dengan banyak informasi dasar mengenai tumbuh-tumbuhan, status dan kelimpahan relatif burung, penelitian malaria, dan pemanfaatan tradisional terhadap tumbuh-tumbuhan.
Beberapa ancaman terhadap hutan adalah rencana konversi dari habitat hutan bertajuk rapat beralih fungsi menjadi Hutan Tanaman Industri, menjadi perkebunan, pembangunan jalan, penebangan kayu liar serta perambahan hutan. Saat ini tidak ada ijin pengambilan kayu di kawasan hutan Mbeliling.
Labuan Bajo Aset Pariwisata
Hutan Mbeliling sebagai kawasan lindung dan daerah resapan air memiliki posisi penting dalam kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat sekitar. Labuan Bajo sebagai ibukota Kabupaten Manggarai Barat yang berada di lokasi bawah Mbeliling memiliki peran penting bagi pariwisata. Bagaimana tidak, mayoritas wisatawan baik dari dalam maupun manca negara yang ingin melihat secara langsung habitat hewan purbakala, Komodo biasanya transit di bandara Komodo dan bermalam di seputar Labuan Bajo. Selain berkunjung ke Pulau Komodo ataupun Pulau Rinca, para wisatawan acapkali juga menikmati keindahan bawah Laut Flores melalui aktivitas olahraga air seperti diving dan snorkling.
Pasokan dan kebutuhan air bersih bagi masyarakat Labuan Bajo, sebagian besar diambil dari hutan Mbeliling. Dapat dibayangkan, bagaimana jadinya roda pariwisata di sana bila hutan Mbeliling dihajar perambahan dan perusakan. Bisa jadi, tempat penginapan yang tumbuh menjamur di pinggir pantai Labuan Bajo akan sepi penghuni.
“Situasi ini seharusnya dipahami masyarakat yang hidup di sekitar hutan Mbeliling. Hutan harus dijaga jangan diekspolitasi terus-menerus dengan menebangi pepohonan. Apa jadinya kalau hutan satu-satunya yang kita miliki ini hancur oleh kelalaian kita sendiri,” kata aktivis Yayasan Komodo untuk Indonesia Lestari (Yakines), Gabriella Uran.
Menurut perempuan yang akrab disapa Ibu Ella itu, seluruh komponen masyarakat di Manggarai Barat harus terlibat dalam perlindungan hutan Mbeliling. Akan sulit terlaksana niatan konservasi, bila elemen masyarakat berjalan sendiri. “Pemerintah, Tua Adat, pemuka agama dan organisasi masyarakat sipil harus bisa bekerja sama untuk menghasilkan satu kesepakatan tentang pengelolaan hutan Mbeliling secara berkelanjutan”
Misionaris dan Konservasi
Siapa menyangka bila danau terbesar di Kepulauan Flores justru berada dalam wilayah administratif Kabupaten Manggarai Barat. Danau yang dikepung kehijauan hutan Mbeliling ini bernama Sano Nggoang. Dalam bahasa lokal ‘Sano’ berarti danau. Sepanjang perjalanan menuju Sano Nggoang, sekali tempo terlihat beberapa ekor burung Srigunting wallacea (Wallacean dronggo) bertengger pada sebuah pohon.
Bila kita telah sampai di Sano Nggoang, dengan mudah akan menjumpai sumber mata air panas alami yang tak pernah berhenti mengalir. Bila sedang beruntung, kedatangan wisatawan ke danau tersebut akan disambut serombongan Itik gunung (Anas superciliosa) yang sedang berenang di pinggiran. Seorang rohaniawan Katholik berkebangsaan Jerman bernama Erwin Schmutz dari tahun 1963 hingga 1985 pernah tinggal di Dusun Nunang, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang.
Selain sebagai pemuka agama, warga Manggarai Barat juga mengenal sosok Pater Erwin yang mendedikasikan hidupnya bagi konservasi lingkungan hidup Mbeliling. Kenangan membekas nasehat agar selalu menghargai alam itu diakui oleh Servatius Senaman. Bapak lima orang anak dan Kepala Desa wae Sano itu selama 15 tahun menjadi asisten Pater Erwin.
“Waktu tinggal di sini, Bapak Tua banyak menanam pohon Murbai yang disukai burung karena menjadi sumber pakan. Persis di depan kapel pinggir danau sampai ke rumah saya ini, dahulu tumbuh bermacam bunga-bungaan. Bila pohon Murbai berbuah dan bunga-bunga bermekaran suasananya seperti di surga,” kenang Servat yang sejak remaja memanggil Pater Erwin dengan sebutan Bapak Tua.
Apa yang diutarakan Servat bukan isapan jempol belaka. Ketika penulis keluar dari rumahnya dan mengarahkan binokuler ke pucuk pohon murbai, di sana terlihat kurang lebih lima ekor burung Tiong emas (Gracula religiosa) sedang mematuk-matuk buah murbai.
Dedikasi Pater Erwin, menurut Servat, terlihat bila sedang mendaki gunung untuk mengumpulkan tumbuhan bahan penelitian. Rohaniawan itu selalu mengingatkan jika berjalan di gunung jangan sampai merusak semak dan pohon. “Pertengahan tahun delapan puluhan, karena sering sakit Bapak Tua kembali ke Jerman. Sekarang hampir tak ada lagi orang yang begitu besar rasa cintanya kepada lingkungan hidup seperti Bapak Tua,” kata Servat
Servat memang pantas prihatin bila menyaksikan hutan Mbeliling yang perlahan mengalami degradasi. Sepertinya, butuh Bapak Tua-Bapak Tua baru di Manggarai Barat...
(Praminto Moehayat/Burung Indonesia)
Sumber : http://www.burung.org/detail_txt.php?op=article&id=45

Koli Sagu : Adatku Gerejaku


Penulis : Fredy Parera, SVD ::18 Maret 2008 1:49 WIB (www.enterflores.com)

Koli sagu, bukit indah permai memanjang hijau dengan kelebatan hutan nyiur, membuat setiap mata tak jemu-jemu memandangnya. Siapa saja yang mendengar nama Koli, ingatannya langsung pada firdaus tanaman komoditi seperti kelapa, mente, kemiri, kakao, vanili dan pinang. Tanah Koli ibarat setiap benih yang jatuh pasti akan menjadi tanaman yang menghasilkan buah. Begitu juga nama Sagu, orang akan membayangkan kerajaan tempoe doloe yang masih menyisakan bangunan-bangunan tua walaupun kurang terawat, atau dengan pasar ikan yang hampir tak kenal sepi di waktu pagi dan siang. Paroki Santo Tarcisius Koli Sagu menyimpan sejuta pesona bagi siapa saja yang pernah menapak di sana. Maka betullah kalau istilah ’Dompet’ : Doan Oneg Sama Peten (jauh dirindu dekat disayang) kan selalu menebari setiap insan yang mampir di sana. Namun, menjadi kebingungan bagi setiap orang asing adalah mengapa firdaus ini harus ditinggalkan oleh bangsa pribuminya ke negeri yang jauh di Malaysia, Singapura, Hongkong atau Kalimantan dan Batam? Dan, satu lagi, mengapa pastoral perkawinan dirasakan cukup gagal? Ada apa dengan Koli Sagu?


Paroki mandiri
Paroki Santo Tarcisius Koli Sagu adalah salah satu paroki yang berada di Keuskupan Larantuka. Paroki ini berdiri pada 25 Februari 1995. Berdasarkan SK Uskup, paroki ini diserahkan kepada Imam Serikat Sabda Allah, sehingga diberi nama : Paroki SVD St. Tarcisius Koli Sagu. Sebelum menjadi paroki, Koli Sagu merupakan bagi dari Paroki Hingga. Paroki Koli Sagu memiliki enam buah stasi, yakni Kolilanang, Kolimasang, Titatukang, Lamahoda, Lolok, dan Sagu. Demi mengefektifkan pelayanan pastoral dan hayat iman menuju motto ”Paroki Mandiri : Sakramen Keselamatan yang Misioner”, mereka membentuk Komunitas Basis Gerejani (KBG) menurut teritori sebanyak 44 buah. Masing-masing KBG terdiri dari 17-30 buah kepala keluarga. KBG memungkinkan hidupnya tujuh bidang pendampingan pastoral, yakni, liturgi, pewartaan, bimbingan dan penyuluhan, keuangan dan pembangunan, sosial ekonomi, pemantapan KBG dan pemberdayaan perempuan secara mutual dan kontekstual.
Semua stasi bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan besar baik roda empat maupun roda enam. Jarak antarstasi yang tidak lebih dari satu kilometer memudahkan umat untuk saling berinteraksi. Umat seringkali menempuh jalan kaki untuk mengikuti misa atau pertemuan di stasi pusat, juga tidak menutup kemungkinan bagi kedua gembalanya kalau misa di stasi lain. Kini, paroki ini dilayani oleh dua imam Allah, Pater Herman Sina, SVD sebagai pastor kepala dan Pater Gorgonius Rony Guntur, SVD.


Bangsa perantau
Masyarakat Adonara dikenal sebagai bangsa perantau. Jangan heran jika sewaktu-waktu pembaca ke sana, cobalah menyempatkan waktu ke sekolah-sekolah dasar. Di sana, anda akan menemukan bahwa sebagian besar anak ternyata lahir di luar negeri. Boleh dikatakan bahwa perantauan sudah mendarah daging. Bukan seorang anak Adonara jika belum merantau. Mengapa perantauan sudah begitu membudaya? Secara kasat mata salah satu penyebab adalah demi perbaikan ekonomi. Tetapi, bila ditelisik lebih jauh, sebetulnya perantauan adalah sebuah mentalitas dan efek. Dikatakan mentalitas karena meratantau adalah bagian dari hidup masyarakat. Orang beramai-ramai merantau. Perantauan tidak mengenal jenis kelamin atau status sudah menikah atau belum. Yang penting, merantau dulu.
Fakta sosial membuktikan bahwa tidak semua perantau itu sukses jika bale nagi atau pulang kampung. Memang ada yang sukses. Anak bisa disekolahkan. Rumah bisa dibangun. Utang karena belis (mas kawin) bisa terbayar. Namun, dibalik itu hidup merantau bukan sesuatu yang gampang. Barangkali lukisan kegagalan akan tampak terasa lebih luas memilukan dibanding keindahan hayat hidup yang dikonsepkan. Keresahan yang memilukan itu terjadi ketika mereka harus menemukan diri sebagai orang asing karena ketiadaan rumah, lahan yang semakin sempit karena sudah dijual separuh dan pemukiman yang kian mempersempit areal pertanian, utang yang belum terbayar karena pinjaman untuk pergi merantau dengan bunga dua kali lipat per tahun bahkan ketiadaan lahan karena dijual untuk modal merantau.
Perantauan juga bisa disebut sebagai efek karena status sosial memungkinkan seseorang untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Ini biasa terjadi karena anak-anak yang lahir dengan kondisi budaya yang mempatenkan mereka sebagai yang tak berhak. Anak-anak yang yang tak berhak ini dikondisi-sosial-kan sebagai yang tak berpunya. Mereka adalah kaum perempuan atau anak-anak yang lahir bukan dari rahim isteri pertama. Mereka-mereka ini tidak kebagian jatah warisan dari sang ayah atau suku. Akibat sebagai yang tak berpunya, memaksa mereka untuk menjadi perantau. Bisa kita bayangkan jika itu adalah seorang perempuan dan hidup tak bersuami. Tentu bukan main susahnya. Ia harus mengendus nasibnya di tengah budaya yang sekian ketat membalut hidupnya. Maka perantauan adalah komitmen wajib dari nasib yang demikian.
Menghadapi nasib yang demikian, paroki mencoba memberikan solusi. Salah satunya adalah mendirikan usaha simpan pinjam atau semacam Credit Union (CU). Alhasil, tidak mengecewakan. Banyak orang yang tertolong dan membuat mereka untuk hidup mandiri. Hidup tidak menikah, kini tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan jika sudah bisa memiliki usaha sendiri seperti yang terjadi pada beberapa anggota CU. Memang belum semua umat membaca peluang ini, tetapi setidak-tidaknya paroki sudah menjawab parmasalahan ini.
Akibat lanjut dari perantauan ini, Gereja dipusingkan tujuh keliling dengan soal pendataan umat. Bagaimana bisa mendata umat sementara kehadirannya seperti senin-kamis. Minggu ini atau dalam bulan ini, katakan saja si anu ada, tetapi pada minggu atau bulan berikutnya kita tidak tahu sampai kapan yang bersangkutan pulang. Bisa saja pulang tapi bisa saja tidak pulang-pulang. Repot! Meski demikian, Pater Herman yang sungguh kebapakan ini tetap mencari anak-anaknya. Supaya umatnya merasa tidak dilupakan, sang bapak dengan modal kembung-kempis mencoba menyurati anak-anaknya dengan membuat buletin bulanan dengan nama SN ”Soga Naran”. Ini merupakan surat cinta pastoral yang paling mujarab. Buktinya, pada buletin SN ada kolom bagi anak-anak untuk membuatkan puisi. Biasanya puisi anak-anak tak lain dan tak bukan berisikan kerinduan sang anak untuk berkumpul bersama keluarga. Sederhana tetapi menusuk kalbu pembaca. Ada banyak dampak positif. Mereka yang sudah lama meninggalkan keluarga, teringat akan isteri dan anak atau suami dan anak, mau pulang kampung juga atau tetap setia mengirim uang buat keluarga. Bahkan sang orangtua, jauh-jauh dari Malaysia, Singapura atau Hongkong hanya untuk mendampingi sang anak saat menerima komuni pertama.


Adatku gerejaku: dilema sebuah pastoral
Masyarakat Koli Sagu umumnya sangat kuat dengan adat. Salah satu adat yang paling kuat sekaligus menjadi dilema bagi para agen pastoral adalah soal perkawinan. Masalah perkawinan menjadi masalah yang paling pelik. Akan menjadi kendala bagi agen pastoral yang baru bertugas di sana dalam merekomendasikan perkawinan bagi umat. Imam yang mau memberikan sakramen perkawinan kepada setiap pasangan hendaknya sangat jeli dalam proses penyelidikan sampai pasangan yang bersangkutan dinyatakan layak untuk menerima sakramen perkawinan. Tidak heran, sekalipun ada diakon yang bertugas di paroki dan mendapatkan yurisdiksi dari uskup, tetapi diminta untuk tidak memberikan status liber sekalipun pastor paroki tidak berada di tempat. Ini adalah pilihan terbaik.
Mengapa? Adat yang begitu kuat mengakar menempatkan Gereja seakan-akan harus tunduk kepada adat. Sebagai contoh, menikah secara sakramental itu penting , tetapi hampir pada umumnya sudah terselesaikan. Karena itu, simbol-simbol liturgi perkawinan seperti membuka kerudung perempuan pralambang hak atas keperawanan, jarang terjadi. Umumnya, mereka yang menerima sakramen perkawinan, sebelumnya sudah hidup bersama-sama bahkan sudah memiliki anak.
Salah satu bentuk adat yang paling kuat dan dominan adalah belis. Belis atau mas kawin biasanya ditakar dengan gading. Gading ini harus diserahkan pihak keluarga pria atau suami kepada kepada pihak keluarga perempuan atau isteri. Besarnya belis atau jumlah gading disesuaikan menurut belis sang ibu. Kalau dulu belis sang ibu tiga gading maka demikian juga sang anak. Ikatan kekerabatan begitu kuat ketika mereka hidup berdasarkan suku. Suku A akan mengambil isteri di luar sukunya dan gading sebagai belis akan menjadi hak suku. Bisa terjadi bahwa keinginan untuk menikah bukan karena diawali oleh cinta yang bersangkutan, tetapi karena kemauan keluarga atau suku supaya mendapatkan pasangan sebagaimana diinginkan. Dan, biasanya lebih untuk mendapatkan gading.
Selain itu, masalah poligami dan poliandri juga cukup marak. Selain belis, poligami juga disebabkan oleh faktor perantauan. Masyarakat pada umumnya pernah mengalami perantauan dan bahkan banyak anak yang lahir di perantauan. Perkaranya, mungkin saja di perantauan mereka sudah memiliki pasangan hidup dan ketika ke kampung mereka juga memiliki pasangan baru lagi. Atau kasus lain, mereka bisa saja sudah menikah secara sakramental, tetapi karena tuntutan ekonomi, suami atau isteri terpaksa harus pergi merantau. Di sana, mereka hidup bersama sebagai suami-isteri sekalipun mungkin sudah tahu satu sama lain bahwa mereka sudah punya pasangan hidup yang ditinggalkan di kampung halaman. Namun, bila ditilikan berdasarkan adat, poligami atau poliandri bukan masalah, yang penting bisa diselesaikan secara adat, yakni pihak pria memenuhi kewajibannya dengan membayar belis kepada pihak perempuan, selesai dan habis perkara.
Menghadapi kenyataan adat yang membelenggu pastoral ini, Gereja mengambil sikap tegas dalam melayani umat secara sakramental. Gereja juga berusaha secara terus-menerus memberikan katekese untuk membangun kesadaran umat tentang Gereja sebagai sakramen keselamatan. Hasilnya, sekalipun umat merasa tidak layak untuk menerima sakramen karena terlanjur diikat adat, namun mereka tetap setia untuk mengikuti misa harian. Bahkan, mereka sangat berperan besar dalam menghidupi KBG atau dipercaya oleh umat dan bersedia untuk menjadi pemimpin. Kepada mereka, Tuang Herman selalu meneguhkan kawanannya : ”aturan mewajibkan saya untuk tidak memberikan pelayanan sakramental kepada ama-ina*, (*ama-ina : sapaan kesayangan untuk pria dan wanita). Tetapi, percayalah, kerinduan dan kesetiaan anda yang luhur ini menjadi tanda bahwa Allah tetap mencintai ama-ina supaya selamat”.


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kana 001 Tahun 3-Januari 2008

Sewu Api, Upacara Adat Tahunan Suku Lio

Penulis : BN/KANA ::24 Maret 2008 5:40 WIB

Sewu Api dalam bahasa Lio, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, berarti memadamkan api. Sewu Api merupakan sebuah upacara adat, yang diselenggarakan setiap akhir tahun oleh Suku Lio, yang sebagian besar warganya mendiami daerah sepanjang pesisir utara Kabupaten Ende. Upacara Adat Sewu Api bertujuan untuk mengakhiri musim kemarau dan mengawali musim tanam. Selain itu, acara ini untuk syukuran atas keberhasilan sekaligus mendoakan kesuburan pada musim tanam yang akan datang. Tulisan ini menceritakan pelaksanaan Sewu Api dari salah satu kelompok adat Suku Lio, yakni Wumbu Raja, dengan Pimpinan Tertingginya atau Mosalaki Puu-nya adalah Bapak Yoseph Naga Budhi pada tanggal 23 Desember 2007 lalu.

Mosalaki, pemegang hak ulayat
Suku Lio, yang sebagian besar warganya mendiami daerah sepanjang pesisir utara Kabupaten Ende, pada akhir Desember 2007 lalu, melaksanakan upacara adat yang dikenal dengan nama Sewu Api. Penyelenggara utama kegiatan ini adalah pemimpin adat. Struktur pemimpin adat terdiri dari para Kepala Adat atau Mosalaki Puu, Petinggi Adat atau Mosalaki Ria Bewa (semacam perdana menteri), serta melibatkan masyarakat umum, yakni para penggarap lahan pertanian yang disebut Ana Kalo Fai Walu.
Di dalam struktur adat, Mosalaki Puu dan Mosalaki Ria Bewa adalah pemegang hak ulayat atas tanah-tanah adat. Mereka memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengatur pembagian penggarapan lahan oleh masyarakat. Para pemimpin adat ini, baik Mosalaki Puu maupun Mosalaki Ria Bewa mengelola tanah-tanah ulayat dari kelompok-kelompok adat yang disebut dengan Embu. Di dalam Suku Lio sendiri ada beberapa kelompok adat yang disebut dengan istilah Embu, antara lain Embu Siga, Embu Mosa, Embu Lesu, Embu Wumbu Raja, Embu Ndaru Roi, dan lain sebagainya. Setiap Embu melaksanakan kegiatan Sewu Api pada hari yang berbeda-beda. Tetapi, biasanya dilaksanakan sepanjang akhir bulan Desember. Biasanya sesudah hari raya Natal hingga 1 Januari.
Secara umum tidak ada perbedaan prinsip dari prosesi adat yang dilakukan masing-masing Embu. Ketika mengikuti Sewu Api dari Embu Wumbu Raja, dengan pimpinan adat tertingginya, Yang Mulia Bapak Yoseph Naga Budhi, saya dapat mencermati tahapan-tahapan inti dari prosesi tersebut. Sehari sebelum acara puncak, para pemimpin adat mengundang seluruh masyarakat untuk menyerahkan sebagian kecil hasil buminya. Kegiatan pada hari itu dalam bahasa adat disebut dengan Kero Are. Biasanya yang diserahkan adalah beras sebanyak 5-10 kg, satu ekor babi, moke atau arak beberapa botol, yang semuanya tergantung pada luasnya lahan garapan.
Kero Are dilakukan sebagai upeti untuk diserahkan kepada Mosalaki. Kegiatan Kero Are atau pembayaran upeti dilakukan oleh seluruh penggarap dengan mendatangi rumah induk atau Kuwu. Pada saat yang sama pula para petinggi adat melakukan pertemuan awal guna membahas draft sejumlah persoalan yang berhubungan dengan pertanahan. Bahkan menghimpun poi atau denda dari anggota masyarakat yang sebelumnya menggarap lahan pertanian tanpa sepengetahuan Mosalaki. Draft tersebut akan diajukan keesokan harinya pada upacara puncak Sewu Api.
Selama dua hari kegiatan inti Sewu Api, anggota masyarakat maupun pimpinan adat tidak boleh melakukan kesalahan-kesalahan prinsipil seperti membuat kericuhan, melecehkan kebijakan pemimpin adat atau bekerja di ladang. Jika ada kesalahan, maka denda atau poi akan dikenakan dalam bentuk satu ekor babi, yang diserahkan setelah upacara adat, untuk kebutuhan Sewu Api tahun berikutnya.
Kegiatan utama pada acara puncak adalah Sidang Tingkat Tinggi Dewan Adat. Mereka menempati Kuwu atau Rumah Adat Utama untuk membicarakan semua persoalan yang berkaitan dengan adat. Biasanya berfokus pada masalah pertanahan, terkait tapal batas, pembagian, dan kewajiban-kewajiban para penggarap. Kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat antara Mosalaki Puu dengan Mosalaki Ria Dewa, yang sedapat mungkin dapat diselesaikan pada saat itu juga. Jika mereka saling melecehkan dan tidak menghargai, maka tindakan denda atau poi di kalangan mereka sendiri bisa saja dilakukan (asas persamaan di depan hukum).

Tandak atau Gawi, ajang pertemuan muda-mudi
Selama dua hari itu, prosesi adat ditandai dengan tari-tarian, yakni Tandak atau Gawi dalam bahasa setempat. Semua anggota masyarakat biasanya secara spontan datang ke tengah-tengah kampung. Mereka bergandengan tangan, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, untuk mengitari Tubu Musu atau tiang utama yang dipancang di tengah-tengah kampung. Tubu Musu ini sekaligus merupakan simbol pemersatu, simbol kebersamaan, dan kerja sama dari suatu kelompok adat. Tubu Musu dipercaya sebagai pusat kekuasaan para leluhur, yang terus dijaga dan dihormati. Pada kegiatan Gawi, masyarakat menari dengan mengikuti iringan pemandu pantun atau sodha. Pantun dinyanyikan oleh seorang laki-laki yang memiliki pengalaman. Lantunan syair-syair sebagai ekspresi penghormatan, himbauan, doa-doa kepada para leluhur, ucapan syukur atas hasil yang sudah diperoleh sebelumnya. Mereka bergandengan tangan mengikuti irama hentakan kaki. Para ibu dan remaja laki-laki dan perempuan juga ikut menari mengitari lingkaran. Dan biasanya peristiwa ini dimanfaatkan kalangan muda-mudi sebagai ajang pertemuan. Usai pesta adat tersebut biasanya ada pasangan muda-mudi yang melanjutkan secara serius hubungan mereka.

Ditutup dengan makan bersama
Mengakhiri rapat tingkat tinggi, Dewan Adat mendapat suguhan makan siang, yang lazimnya tidak dilakukan tepat siang hari, tetapi pada sore hari pukul enam bahkan tujuh malam, tergantung proses sidang tingkat tinggi para pemimpin adat. Suguhan makan siang untuk pimpinan adat adalah suguhan khusus pertanda penghormatan dan pembagian yang sesuai dengan kewenangan yang mereka miliki selama ini. Biasanya Mosalaki Puu dan Mosalaki Ria Bewa mendapatkan bagian terbesar berupa daging babi dari bagian kepala babi, pusu lema (bagian pinggang hingga ekornya) dan lemba wawi (irisan lemak babi, yang diambil sepanjang punggung babi dalam ukuran besar), dan minuman arak beberapa botol, tentu sesuai dengan kewenangan yang mereka miliki. Suguhan makanan bersama untuk masyarakat yakni para penggarap lahan pertanian, dibagikan secara merata, lalu diantar dari rumah ke rumah. Keluarga-keluarga memang sedang menunggu pembagian jatahnya. Setiap rumah boleh makan bersama ketika Mosalaki Puu menabuhkan beduk beberapa kali, pertanda saatnya untuk menikmati hidangan makan siang yang justru terjadi pada malam hari. Prosesi adat ini sebenarnya cukup memakan waktu dan biaya. Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan pertimbangan ekonomi, ada banyak bagian yang sudah dipersingkat atau bahkan ditiadakan. Tetapi, tetap menjaga prinsip umum kegiatan Sewu Api.


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kana 002 Tahun 3 Februari 2008

Manajemen Sampah Rhenald Kasali

By Nurul Qomariyah - detikFinance/1 April 2008

Jakarta - Rhenald Kasali kini berteman akrab dengan sampah. Ia berhasil memecahkan masalah sampah yang menjengkelkan menjadi sebuah bisnis yang wangi. Semua tertuang di Rumah Perubahan Rhenald Kasali.Rumah Perubahan (RP) ini disebut Rhenald Kasali sebagai sebuah powerhouse perubahan. Melalui Rumah Perubahan (RP), Rhenald mengubah sampah yang diambil dari lingkungan sekitarnya menjadi biomass dan juga kompos yang sangat menguntungkan. RP milik Rhenald mengumpulkan sampah milik warga sekitarnya yang berlokasi di Jatimurni, Pondok Gede Bekasi. Tepatnya ada di belakang Gardu Induk PLN Pondok Rangon. Dalam kesempatan wawancaranya dengan detikFinance di RP, Rhenald buka-bukaan tentang buku terbarunya dan konsep RP yang sedang dirintisnya itu.Ide RP ini muncul ketika Rhenald mendapati begitu kompleksnya permasalahan sampah. Apalagi ketika ada peristiwa warga tertimbun tumpukan sampah di Leuwigajah, Cimahi beberapa waktu lalu."Kok bisa seperti itu ya, saya sampai bingung dengan masalah sampah kita," ungkap Rhenald.Keprihatinan Rhenald itu pun 'bertemu' dengan temannya yang juga jebolan FE UI bernama Hidayat. Rhenald mengkisahkan temannya itu sebagai orang yang sangat senang berkreasi menciptakan mesin-mesin unik. Dan salah satunya adalah mesin pengolah sampah itu.Bagaimana proses pengolahannya? Sampah-sampah warga itu dikumpulkan dalam sebuah drum bekas yang sudah disulap menjadi tempat sampah. Setiap hari, sampah-sampah itu diangkut oleh petugas dengan sebuah mobil bak terbuka. Warga tak perlu repot-repot memilah-milah sampah. Semua sampah itu akan langsung diolah dengan mesin yang diciptakan oleh Hidayat itu.Hasil dari olahan itu berupa biomass, kompos dan plastik-plastik. Untuk kompos komposisinya hanya sekitar 10-20%. Sementara plastiknya diolah lagi dan bisa dijual dalam keadaan yang sudah bersih.Untuk hasil Biomass ternyata bisa menghasilkan energi hingga 7.000 kalori. Tak heran, Biomass produk RP ini langsung diminati oleh PT Indocement. Produk Biomass RP kini secara rutin telah disuplai ke Indocement. "Karena ternyata industri semen itu adalah Waste Eater Industry. Segala macam mulai dari kayu bakar, cangkang sawit, ban bekas, sekam dll itu digunakan. Jadi mereka itu perlu bahan bakar," ungkap Rhenald mengungkapkan awal mula kerjasama dengan pabrik semen itu.Anda jangan membayangkan RP seperti layaknya tempat penampungan sampah lainnya yang bau dengan lalat yang bertebaran. RP milik Rhenald jauh sekali dari kesan itu. Tanpa bau dan tanpa lalat. Bagaimana bisa?Dalam konsep RP, sampah tidaklah ditumpuk. Sampah-sampah yang 'segar' alias baru diangkut langsung dicacah dan dipilah sehingga terjadi fermentasi. "Jadi lalat pun tidak mau bertelur disitu," ujar Rhenald.detikFinance yang melihat RP hanya bisa terpana. Di lahan RP seluas 700 meter itu terlihat bersih dan nyaris tanpa bau dan lalat. Lingkungan sekitar RP yang notabene kampung itupun terlihat bersih dan rapi. 'Seragam' tong-tong sampah Rumah Perubahan menghiasi lingkungan sekitarnya.RP itu juga sekaligus menjadi wujud kepedulian Rhenald dan keluarganya terhadap lingkungan sekitarnya. RP itu mempekerjakan para anak putus sekolah, pengangguran, mantan narapidana dan para preman kampung. Jumlahnya sekitar 20 orang. Mereka dipekerjakan dengan sistem yang sangat simpel. Setor KTP, kerja dan pulang mendapat uang. Meski secara bisnis hitung-hitungannya bisa sangat menguntungkan, namun Rhenald mengaku tidak berniat untuk mendulang keuntungan di tahap awal ini. "Dalam tahap pengembangan, kami tidak akan mengambil keuntungan," tambahnya.Namun demikian, jika bisnis ini berkembang dengan pesat, Rhenald berniat menggaji seseorang yang profesional. Rhenald berharap bisnis ini terus berkembang, sementara masalah lingkungan bisa terpecahkan, termasuk juga masalah pengangguran."Nanti saya jadi komisaris saja, yang lain biar dikerjakan oleh profesional," ujarnya sambil tergelak.