(Getty Images/LORENZO TUGNOLI)
Personil pemadam kebakaran India tiba di hotel Taj Mahal yang dijadikan sebagai target serangan teroris di Mumbai.
Personil pemadam kebakaran India tiba di hotel Taj Mahal yang dijadikan sebagai target serangan teroris di Mumbai.
Kompas: Rabu, 3 Desember 2008 07:14 WIB
NINOK LEKSONO
”Serangan di India bisa menjadi studi kasus lain tentang bagaimana teknologi mentransformasi warga menjadi reporter potensial, menambah satu dimensi baru pada media berita.”(Brian Stelter dan Noam Cohen, ”New York Times”, 29/11)Internet sebagai teknologi terbukti ampuh digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari komunikasi personal hingga korporasional, mulai dari perdagangan hingga media. Khususnya untuk yang terakhir, salah satu wujudnya yang telah mapan adalah hadirnya media online seperti Kompas.com.Dalam perkembangan berikut, muncul fenomena blog, yang aslinya lebih berupa ekspresi personal atas berbagai topik, tetapi dalam perkembangan selanjutnya melahirkan impak yang jauh di wilayah media dan jurnalistik. Bahkan, muncul pertanyaan fundamental, ”Apakah blog menjadi masa depan jurnalistik?” Jawabannya terpulang pada keyakinan masing-masing, tetapi blog bersama tren lain yang kini juga berkembang, yakni jurnalisme warga (citizen journalism), tak diragukan lagi akan terus berkembang mewarnai perkembangan media.Salah satu uraian tentang praktik jurnalisme warga yang aktual karena terkait dengan berita utama internasional adalah yang dilakukan Arun Shanbhag ketika terjadi aksi teror di Taj Mahal Palace dan Tower di Mumbai, Rabu (26/11) malam pekan silam. Ia melaporkan apa yang terjadi melalui internet dari teras Colaba Causeway di Mumbai selatan (Lihat Brian Stelter dan Noam Cohen di The New York Times yang dikutip di atas). Shanbhag sendiri adalah asisten profesor di Harvard Medical School di Boston, yang hari itu kebetulan ada di Mumbai. Karena menyaksikan kejadian itu secara langsung, ia terpanggil untuk berbagi. Lalu, ia pun mengabarkan tentang suara rentetan tembakan dari senapan melalui Twitter dan mengunggah foto-foto yang ia buat dalam blog pribadinya. Dalam kenyataan, apa yang dilakukan Shanbhag itu hanya satu dari laporan yang ditulis jurnalis warga. Semuanya memperlihatkan bagaimana teknologi sedang mengubah warga menjadi reporter potensial. Saat aksi teror memuncak, ada lebih dari satu pesan dalam satu detiknya dengan kata ”Mumbai” di dalamnya yang dikirim ke Twitter, layanan pesan pendek yang semula dianggap keanehan, tetapi kini dalam dua tahun berhasil tumbuh menjadi satu panggung berita (news platform). Pesan-pesan tersebut dan juga lainnya yang dikirim melalui situs web dan juga situs yang digunakan untuk berbagi foto memang terkesan kacau. Namun, itu rupanya sangat berarti untuk menghubungkan orang dari berbagi tempat di dunia.Sebenarnya apa keunggulan yang ditawarkan media baru ini? Melalui Twitter, seseorang mendapat umpan (feed) dari banyak orang dalam satu waktu. Selain itu, jurnalis warga juga bisa menghindar dari aturan birokrasi yang dihadapi organisasi media. Misalnya saja batas waktu transmisi video langsung seperti yang dihadapi CNN, yang membuat reporternya lalu hanya bisa mengirim laporan via telepon, padahal stasiun TV berita, seperti CNN, amat mengandalkan gambar video. Sementara kamera dan telepon yang dibawa warga lain, termasuk jurnalis warga, tidak terikat dengan aturan di atas. Informasi yang dikirim jurnalis warga ini diakui besar artinya pada tahap awal krisis, khususnya ketika informasi resmi baik dari pemerintah maupun media utama masih berusaha menaksir seberapa luas skala serangan.Informasi tersebut barangkali sedikit, tetapi informasi yang sedikit, menurut guru besar Graduate School of Journalism Columbia University Sreenath Sreenivasan, lebih baik daripada tidak ada informasi sama sekali.
Masa depan internet
Dari uraian di atas tampak internet memegang peranan penting dalam munculnya dimensi baru jurnalisme. Mereka yang akrab dengan sejarah internet mengetahui bahwa medium ini tumbuh dan berkembang bisa dikatakan bukan sebagai produk akhir. Internet sebagai bukan produk akhir memberi kesempatan luas bagi siapa pun untuk berkreasi di atasnya. Pebisnis dan penemu bisa menggunakannya sebagai papan lontar untuk inovasi selanjutnya. Kini, ketika internet telah menjadi media utama, muncul desakan untuk mengubahnya menjadi sistem yang sudah mereka kalahkan, yaitu dengan jalan membuatnya tertutup. Artinya, nanti akan tidak ada lagi peluang bagi pihak luar untuk ”main-main” atau merekayasa (tinkering) sistem jaringan ini. Kalaupun tidak sepenuhnya, peluang untuk itu hanya akan dibuka sedikit, di bawah pengawasan ketat (Jonathan Zittrain, ”The Internet is Closing”, Newsweek, 8/12)
Alasan keamanan
Perubahan yang akan terjadi itu sebagian karena adanya kebutuhan untuk menjawab masalah keamanan yang memang biasanya muncul pada teknologi terbuka. Sebagian alasan lain adalah karena bisnis. Namun, upaya untuk mengubah sistem terbuka menjadi sistem tertutup diperkirakan akan memunculkan inovasi baru yang lazimnya muncul dari akibat tak terduga aktivitas otak- atik, yang sejauh ini telah memberi kita web, pesan cepat (instant messaging), jaringan langsung ke pihak tertentu (peer- to-peer networking), Wikipedia, dan sejumlah inovasi lain. Langkah penutupan juga akan memunculkan penjaga gawang, yang akan membuat kita, tetapi juga mereka, tawanan bagi rencana bisnis yang terbatas dan juga regulator yang umumnya takut pada hal-hal baru yang mengguncangkan. Kemungkinan di atas bisa jadi akan menimbulkan gelombang balik yang mengguncangkan. Bisa kita bayangkan berapa harga yang harus dibayar untuk berbagai sistem tertutup yang akan diperkenalkan, sementara pilihan teknologi dan aplikasi mungkin juga akan lebih terbatas. Namun, konsekuensi hilangnya kreativitas yang selama ini banyak dipicu dengan bebas dan terbukanya internet boleh jadi yang paling mendalam. Kita menilai bahwa internet yang kita kenal selama ini adalah salah satu pembentuk peradaban terbuka dan demokratis yang cocok dengan zaman dan gaya hidup abad ke-21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar