Senin, 22 Desember 2008

ROH SUNDA KECIL: Pendekatan Budaya sebagai Perekat Kawasan



Oleh KHAERUL ANWAR
Kompas, Friday, 19 December 2008

KOMPAS — Bali sepantasnya prihatin jika kembarannya, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, merana. Karena itu, Bali perlu bersinergi untuk mendorong kemajuan para saudara kembarnya.
Harapan yang mengemuka dalam Seminar ”50 Tahun Sunda Kecil Berlalu” itu bukan tanpa alasan mengingat ketiga provinsi ini pernah tergabung dalam Sunda Kecil dan memiliki kemiripan sumber daya alam. Hanya saja, keterbatasan infrastruktur serta akses transportasi dan telekomunikasi membuat NTB dan NTT berjalan lamban dalam segala aspek pembangunannya.
Adapun Bali ditunjang infrastruktur dasar yang memadai, kinerja pembangunan ekonominya melejit berkat sektor pariwisata. Dalam konteks inilah sejumlah narasumber melihat Bali punya daya dorong untuk berperan dan bersinergi dengan kedua saudaranya di timur.
Narasumber dari NTB mengakui, provinsi itu memerlukan daya ungkit untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alam serta mobilisasi barang dan jasa. ”Daya ungkit itu ada pada Bali,” ujarnya sambil meminta kebijakan rencana tata ruang nasional Jawa-Bali, seperti kebijakan listrik Jawa-Bali, ditinjau ulang.
Sayang, curahan hati sejumlah pemakalah tidak didengar langsung oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika yang saat itu berhalangan hadir karena mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Bali.
”Namun, kami bertiga (Gubernur Bali, Gubernur NTB, dan Gubernur NTT) sudah berjanji akan saling kunjung, terutama hari raya khusus provinsi masing-masing, seperti HUT provinsi,” kata Gubernur NTT Frans Lebu Raya.
Kesepakatan saling kunjung mungkin sebuah awal yang baik untuk mewujudkan cita-cita pembangunan terpadu kawasan Nusra. Apalagi, tiga provinsi itu memiliki keunggulan komparasi sekaligus modal saling mendukung dalam menggerakkan roda perekonomian kawasan.
NTT, misalnya, mempunyai rumput laut yang sentra produksinya berada di Pulau Sabu, Sumba, Kupang, dan Kepulauan Alor. Rumput laut asal Pulau Sabu tergolong kualitas nomor satu.
Begitu pula jambu mete yang antara lain dibudidayakan di Flores Timur dan Lambata. Produk jambu mete Flores Timur tergolong kualitas nomor dua setelah jambu mete Afrika.
Flores Timur sebagai daerah baru, didukung cuaca dan kondisi tanahnya, menghasilkan jambu mete yang matang. Dengan kualitas yang tidak berbeda, produksi jambu mete NTT kini sekitar 2.000 ton-3.000 ton per tahun, di bawah NTB yang produksi jambu metenya 7.000 ton per tahun.
Belum lagi potensi vanili di Manggarai dan Ngada, dengan produksi rata-rata 200 ton per tahun, lebih tinggi dibandingkan produksi NTB yang berkisar 50 ton-100 ton per tahun.
NTB tetap mengedepankan sektor pertanian sebagai andalan utama untuk menggerakkan perekonomian daerah, disusul pariwisata dan pertambangan sebagai penunjang. Alasannya, sumbangan sektor pertanian dalam produk domestik regional bruto (PDRB) NTB sebesar 26,52 persen, jika pertambangan dan pariwisata digabung, kontribusinya baru mencapai 22,97 persen.
Untuk menggerakkan segenap potensi dan persebaran sumber daya, mobilitas barang dan jasa, NTB dan NTT membutuhkan lokomotif penarik. Peran ini diharapkan dilakukan Bali yang ketersediaan infrastruktur transportasi dan komunikasinya lebih lengkap.
Saat ini sejumlah komoditas untuk keperluan Bali dipasok dari NTB dan NTT melalui darat dan laut. Sebaliknya, Bali merupakan pintu gerbang masuknya barang dan jasa dari arah barat bagi NTB dan NTT.
Jika mimpi keterpaduan kawasan Nusra terwujud, bukan tak mungkin sampai pada sindikasi antar-Bank Pembangunan Daerah dalam bentuk pelayanan terbuka bagi nasabah di tiga provinsi itu. Misalnya, nasabah BPD kawasan Nusra bisa bertransaksi melalui BPD di Bali, NTB, atau NTT. Sindikasi seperti itu kini baru berjalan di beberapa BPD di Kalimantan dan Sumatera.
Pendekatan budaya
Model kemitraan terpadu pembangunan di kawasan Nusra memerlukan kajian bersama dari berbagai aspek. Yang tidak kalah pentingnya adalah upaya membangun hubungan emosional antartiga wilayah. Konkretnya, perlu pendekatan budaya mengingat warga di tiga daerah itu memiliki persamaan tradisi menghormati leluhur, peninggalan purbakala, dan lainnya. Juga kesamaan dari peralatan dan bentuk seni tabuh mereka.
Lewat festival kesenian Sunda Kecil atau apa pun namanya, tiga daerah di kawasan Nusra dapat menemukan persamaannya. Selanjutnya akan melahirkan sebuah ikatan batin dan solidaritas sosial guna membangun pengertian dan kebersamaan.
Seorang pemakalah yang budayawan berpendapat, diperlukan kerelaan dan kepedulian dari Bali untuk mau ”mengasuh yang kecil”. Dengan misi kebudayaan yang rutin, selain akan tercipta rasa saling asah, saling asih, dan saling asuh, juga akan menjadi fondasi kuat membangun kebersamaan serta menemukan benang merah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Model pendekatan seperti itu pernah dilakukan menjelang pemekaran Sunda Kecil menjadi tiga provinsi tahun 1954, mungkin sebagai ajang pisah-kenal. Sebagai contoh, saat Sunda Kecil dipimpin Susanto Tirtoprodjo, gubernur era tahun 1954 itu pernah membawa kesenian Bali untuk dipentaskan di Lombok, Sumbawa, dan Flores. Pementasan dilakukan bersama dengan kesenian daerah setempat.
Kegiatan serupa dilanjutkan pengganti Susanto, Gubernur Sarimin Reksodihardjo. Seusai menghadiri Kongres Pemuda di Surabaya tahun 1957, Sarimin bersama tim keseniannya melakukan pementasan keliling, mulai dari Singaraja, Lombok, Sumbawa, hingga beberapa lokasi di Flores.
Semangat membangun dari sisi kebudayaan itu hendaknya terus dijaga, bahkan dilestarikan. Wujudnya mungkin lewat festival kesenian/budaya dari ketiga provinsi yang digelar secara bergilir. Dengan semangat itu pula, tiga provinsi tersebut bisa sehati membangun kepentingan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar