Oleh: Elias Situmorang
Kompas, Senin, 22 Desember 2008 04:47 WIB
Memberikan diri sepenuhnya dalam kerja dan tugas sehari-hari, berkorban perasaan, pendapat, dan kehendak, itulah salah satu kekuatan perjuangan ibu.Bangun tengah malam untuk mengganti popok anaknya, menyiapkan kebutuhan keluarga di pagi hari, itulah kerja harian ibu.Pada masa lampau sampai dengan dekade terakhir tahun 1980-an merupakan abad industri dengan teknologi biasa saja, yang mensyaratkan pekerja dengan otot kuat dan stamina kesehatan tinggi. Tetapi, sekarang ini kita memasuki teknologi informasi yang serba canggih, yang lebih membutuhkan tenaga yang informatif, terampil, dan teliti, yang membutuhkan akurasi komputer.Dengan kata lain, abad-abad industri yang menggunakan teknologi kurang tinggi pada masa lampau yang membutuhkan pekerja lelaki, sedangkan abad industri informasi dengan teknologi tinggi dewasa ini lebih membutuhkan pekerja perempuan yang cocok dengan sifat lingkungan kerjanya. Kalaupun dibutuhkan pekerja dengan kekuatan otot, sekarang ini teknologi robot sudah bisa menjawab kebutuhan tersebut, bahkan secara ekonomis pembiayaannya menjadi lebih murah dan secara organisasional lebih gampang diatur.Perempuan yang dari kodratnya bersifat kuratif, informatif, dan mampu melayani sebagai penjaja lebih cocok dengan industri informasi yang membutuhkan teknologi tinggi dan komputerisasi akurat. Dalam kehidupan sehari-hari juga kita alami bahwa pendekatan perempuan pada umumnya jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan pendekatan laki-laki, sebab perempuan itu mudah senyum dan kaya dengan kata (J Naisbitt dan P Aburdene, Megatrends 2000, New York, 1990).Sadar bahwa perempuan memiliki potensi dalam hubungan relasional, maka peranan perempuan sekarang ini dalam hidup politik di mana-mana cukup menonjol. Kaum perempuan tampaknya semakin menyadari bahwa martabat hakiki mereka pada kesetaraan dengan laki-laki. Mereka sudah tidak puas lagi berperan pasif semata-mata atau membiarkan diri dipandang semacam sarana. Dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan, mereka menuntut hak-hak maupun kewajiban-kewajiban yang ada pada mereka selaku pribadi. Dalam hal ini perlu disadari bahwa perempuan sebagai manusia adalah makhluk individual dan sosial. Dia juga membentuk dirinya sendiri, memilih, menentukan pemikiran dan tata tingkah lakunya.Menjadi ibu sejatiKenangan akan kelembutan hati ibunda terekam sangat kuat dalam diri Mahmud Darwis, seorang pujangga besar Palestina. Hal itu terungkap dalam puisinya, ”Bundaku…” ”Aku kangen pada roti buatan bundaku, aku kangen akan kopinya, sentuhannya, aku harus memberi harga pada hidupku, seharga air mata bundaku….” (Madina, September 2008). Jauh sebelumnya Erich Fromm, seorang psikolog terkenal dari Mazhab Frankfurt, sudah mengumpamakan ideal cinta seorang ibu sebagai susu dan madu. Dalam bukunya, The Art of Loving, Erich Fromm menguraikan bahwa cinta ibu seperti susu adalah kasih yang memberi hidup dan daya; sementara cinta ibu seperti madu adalah cinta yang memberi keindahan dan kemanisan hidup agar hidup dapat ditapaki dengan penuh gairah. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan harus sejalan dan seimbang.Dalam harapan Fromm cinta yang hanya seperti susu hanya akan membuat manusia bermental subsisten. Artinya hanya sekadar mau mempertahankan hidup. Akibatnya, hidup menjadi asal-asalan, tanpa gairah. Kita lihat, tak jarang justru yang dikhawatirkan Fromm inilah yang masih banyak terjadi. Tak sedikit ibu, yang dengan alasan untuk mempertahankan kemolekan tubuh, tidak mau menyusui bayinya, dan lalu menggantikannya dengan susu buatan. Akibatnya, kehangatan dan keamanan berada di pelukan ibunya tak dirasakan oleh sang bayi, padahal pelukan hangat dan mesra inilah madu yang diperlukan setiap anak (L Binawan, Rohani, Mei 1992).Di lain pihak, ada juga ibu yang sangat ekstrem dan sangat posesif dan overprotective terhadap anak-anaknya. Ini dilarang. Itu dilarang. Harus begini. Harus begitu. Di sini pun anak lalu kehilangan kegairahan hidupnya, kegembiraan masa kanak-kanaknya. Madu kehidupan tak sempat dikecapnya secara bebas. Kalau toh dikecapnya, madu itu pasti tidak asli lagi. Madu itu menjadi madu buatan yang tidak menunjukkan keasliannya.Dalam hal ini, kita boleh menimba sejumput pengalaman pada bangsa Jepang. Kemajuan Jepang bukan pertama-tama pada etos kerja yang tinggi, tetapi ada pada perjuangan dan tugas yang diampu oleh ibu rumah tangga yang bertanggung jawab penuh akan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Ibu-ibu di Jepang menjadi plus karena mampu menghidangkan kehangatan dan kasih, bukan sekadar makanan empat sehat lima sempurna. Membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah dan mengajar anak sopan santun. Mereka dengan rela dan tulus menjadi ibu sejati (Daoed Joesoep, Kompas 7/7/2007). Maka dalam konteks ini, ibu sejati adalah ibu yang mampu membimbing anak-anaknya mampu belajar memaknai hidup. Ibu sejati adalah yang berani melepaskan anaknya untuk memilih pasangannya, memilih bentuk hidup, dan menentukan masa depannya. Ibu sejati ibarat matahari yang senantiasa menyinari tanpa berharap menerima kembali.
Terima kasih ibu. Selamat Hari Ibu 2008.
Elias Situmorang, Pastor Kapusin; Mantan Ketua Tim Seleksi KPUD Samosir, Tinggal di Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar