Mahasiswa pada dua orde belakangan diakui sangat berbeda oleh mahasiswa orde reformasi, atau sering disebut tahun keramat 1998 sampai sekarang. Dikatakan demikian, mungkin karena dengan asumsi perbedaan waktu dan perkembangan zaman. Bisa jua ia, dan bisa juga tidak. Mengapa ia, karena yang bisa beruba pada setiap waktu itu adalah perubahan itu sendiri.
Tetapi mungkin juga tidak, oleh karena, kurikulum pada setiap jenjang pendidikan tinggi tidak pernah beruba secara signifikan sesuai dengan perubahan itu sendiri. Pertanyaannya adalah, dimana posisi tawar mahasiswa sebagai agent of cange itu? Sangat klasik, bila ungkapan ini kembali saya utarakan. Tetapi mestinya yang perlu dilakukan adalah, hindari mereka-mereka yang bersikap pintar namun tidak bisa berbuat apa-apa, atau sebaliknya, jangan pernah mengambil orang yang berlaku rajin namun selalu membuat kesalahan.
Ini yang paling penting untuk diterapkan oleh aktivis mahasiswa (OKP dan Ormawa) untuk menghindari kecolongan dalam setiap kaderisasi dan reorganisasi.
Perlu juga dipikirkan bahwa memang dalam dinamika organisasi (non provit) seperti ini, tidak kala pentingnya ketika ada reorientasi sistem perekonomian global, yang mengakibatkan posisi tawar hingga tahun ini membuat ada banyak kepincangan dan kemandekan organisasi pemuda dan mahasiswa, baik secara internasional, nasional, maupun secara lokal untuk masuk dalam bisnis class. Bukan berarti posisi itu sulit untuk didapati (kecuali diperalat oleh orang lain).
Kesempatan ini, saya tidak melihat dinamika organisasi itu secara global, atau bagaimana mencermati visi dan msisi serta hubungan organisasi itu terbangun. Namun paling tidak, berpikir lokal untuk kepentingan yang besar itu yang saya utamakan.
Berbicara tentang mahasiswa, dan hubungannya dengan aktivis mahasiswa, ada keunikan tersendiri dalam diri mereka. Dan Paling sering orang mengatakan bahwa mahasiswa itu adalah mereka-mereka yang melanjutkan studi pada perguruan tinggi.
Persepsi ini muncul, sesungguhnya karena predikat itu kebetulan ada pada mereka, dan bukan selebihnya mengangkat mereka sebagai sebuah status mahasiswa, yang acapkali disebut sebagai orang yang paling tinggi pada jenjang pendidikan. Kalau dilihat dari tampilan fisiknya, kan tidak beda dengan orang biasa yang berpergian ke semua tempat. Dan mestinya, perbedaan itu hanya bisa dilihat dari dua sisi.
Pertama, secara kuantitatif, mereka bisa terdaftar dimana-mana dengan status itu, dan kedua, secara kualititif, bisa dilihat bagaimana pola pikir, sikap, dan apa yang sudah ia lakukan bagi dirinya, dan untuk bangsa dan negara.
Nah! Bagaimana kita bisa bedakan, dimana letak mahasiswa yang aktivis dan yang bukan aktifis. Kata aktivis, umumnya orang biasa memakai itu disegala tempat, ruang, dan kesempatan, dimana seseorang bisa secara aktif mengikuti dan melakukan suatu pekerjaan yang ia emban.
Tetapi kemuadian, banyak kalangan, khususnya pada organisasi-organisasi pemuda, Ormawa, LSM dan apapun nama organisasinya sering mengatakan bahwa yang namanya aktivis, adalah tidak sekedar menilai seseorang dengan kehadirannya pada setiap kesempatan, namun lebih dari itu, adalah bagaimana dengan kehadirannya itu, mampu memecahkan sebuah persoalan yang dihadapi oleh organisasi, bangsa dan negara, dengan menguji sejauhmana kemampuan daya pikirnya.
Saya tidak mengatakan bahwa saudara, yang notabenenya adalah aktivis (meski nama anda tercatat jelas dalam data base organisasi) namun tidak bisa berbuat apa-apa, (maksudnya daya pikir lemah) bukan aktivis, namun paling tidak orang juga bisa membedakan bahwa namanya mahasiwa yang mengatakan dirinya aktivis dan bukan aktifis itu ada perbedaan dan sikap dan perilaku.Saya mencoba membuat dua kelompok menurut versi yang saya lakukan untuk realitas seperti ini.
Anda mengakui ataupun tidak, memang hanya bukti ketika anda bisa melihat langsung baru dipercaya. Katakanlah, dalam konteks bagaimana pemecahan masalah yang berat (bukan level pemikiran anak SD s/d SMU), sebut saja, mahasiswa.
Dulu, ketika setiap orang yang melanjutkan studi pada Perguruan Tinggi, dianggap sangat hebat (karena tidak semua orang bisa melanjutkan studi setinggi itu). Banyak persepsi yang muncul, bahkan orang tua sekalipun ”memukul dada”, kalau anaknya sudah mahasiswa.
Padahal, di kampus, mahasiswa itu hanya dibekali dengan satu disiplin ilmu saja, hingga mendapat gelar sesuai dengan disiplin ilmu itu. Katakanlah, FKIP Jurusan Ilmu pengetahuan Theologi, maka gelar yang akan ia dapati adalah Sarjana Pendidikan, (S.Pd), dengan disiplin ilmu seperti itu. Dan untuk mendapat gelar ini saja, memakan waktu dan biaya yang cukup banyak. Hingga selesai dengan kemampuannya hanya sebatas mengetahui disiplin ilmu itu sendiri.
Kondisi ini memang sangat berbeda jauh, dengan yang namanya mahasiswa yang aktifis. Mahasiswa seperti ini biasanya, lain dari mahasiswa lainnya. Maksudnya, dari sisi manajemen waktu antara kuliah, dan kesibukan dalam organisasi-organisasi itu berbeda dengan mahasiswa yang lain. Katakanlah, mahasiswa yang aktif pada Organisasi mahaiswa (Ormawa) dan Organisasi kepemudaan (OKP).
Dengan kondisi seperti ini, biasanya banyak aktivis yang terlambat menyelesaikan studi, ataupun gagal, oleh karena manajemen waktu untuk kuliah, dan tanggungjawab yang diembani dalam organisasi itu sendiri. Namun tidak berarti bahwa mereka-mereka yang mengalami kondisi ini sama sekali tidak memiliki kemampuan dalam hal apa saja.
Sebaliknya, ketika saudara menanyakan dirinya tentang apa saja, entah masalah politik, ekonomi, sosial dll, kemampuan berpikir bisa melebihi seorang doktor sekalipun. Sedangkan bagi mereka yang hanya menamakan dirinya mahasiswa, (bukan aktifis), pemikiran yang ada pada mereka sangat terbatas. Disinilah letak perbedaan antara mahasiswa dan aktivis mahasiswa.
Keunikan lain yang sering didapati bagi mereka-mereka aktivis. Dan mungkin ini menjadi catatan paling penting. Pertama, ada kecendrungan malas dalam belajar (maksudnya disiplin ilmu yang digeluti), karena menganggap diri paling hebat, sebab telah mengetahui banyak hal, meskipun itu sangat terbatas.
Namun kalau untuk masalah organisasi, katakanlah mekanisme rapat, tata cara pemilihan, penyusunan rensra, struktur dan uraian tugas, metode avaluasi dan monitoring dll, itu tak ada batasan waktu ketika bercerita dengan mereka-mereka. Dan tanpa disadari, aktivis seperti ini tidak sadar kalau ternyata keunggulan dalam prestasi akademikpun menjadi jaminan ketika itu dirinya tidak lagi bermahasiswa, dan mencari pekerjaan, karena kemampuan organisasinya sangat kompetitif di masyarakat. Mungkin bagi mereka yang untung-untung sewaktu masih menjadi aktivis di OKP maupun Ormawa, jaringan untuk memperoleh pekerjaan itu sudah ada.
Kedua, akibat dari kondisi seperti ini, maka tidak heran jika banyak aktivis yang tidak mendapat perkerjaan dan menjadi penggngguran intelektual dimana-mana. Selainjutnya, mengambil sikap untuk bergabung bersama orang swata, dan mungkin bagi mereka yang lainnya tidak ada masalah untuk pilihan seperti ini.
Ketiga, akibat point pertama dan kedua, ada kecenderungan mereka yang selalu berada pada sebuah barisan oposisi untuk menentang apa saja, yang menurut mereka salah atau keliru dibuat oleh orang lain. Ini akibat dari idealisme yang berlebihan.
Mohon maaf, bila tulisan ini membuat sebagian dari teman-teman yang merasa kurang puas. Namun paling tidak, kalau tidak lewat seperti ini, maka mungkin juga tidak ada perubahan yang signifikan terhadap dinamisasi organisasi anda selanjutnya.
Penulis adalah Mantan KABID KESMA SMU UKAW Kupang, Periode 2006-2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar