Sabtu, 15 Maret 2008

Fantasi: Sebuah Pertengkaran yang Menyembuhkan

Oleh Marsel RobotDosen Undana Kupang, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung

SALAH satu perjumpaan paling asyik dan teramat nikmat antara sastrawan dan pengamat sastra adalah pertengkaran yang sengaja diciptakan di antara mereka. Pertengkaran menjadi kebiasaan eksentrik dan dibutuhkan untuk menyuburkan kreativitas dalam bersastra. Itulah sebabnya, mereka tidak banyak yang gemuk dan terkadang 'kemomos' lantaran banyak waktu dipakai merenung dan mencari argumentasi untuk membangun debat demi debat, hasil debat didebatkan lagi.Gara-gara semacam itu terjadi antara AG Netti dan Maria Matildis Banda beberapa waktu lalu (Pos Kupang, 16 Januari 2008). Di bawah artikel berjudul agak arogan: "Marginalia atas opini Maria Matildis Banda: Seputar Imajinasi, Fantasi dan Khayalan", Netti menyerang tulisan Maria Matildis Banda yang dimuat dalam buku 15 Tahun Pos Kupang. Tulisan Matildis Banda dalam buku itu berjudul: "Imajinasi dan Hasrat Seorang Jurnalis" (Catatan Tentang Jurnalisme Sastra).Saya menyebut pertengkaran itu sebagai pertengkaran 'di kamar dalam', oleh karena topik pertengkaran (imajinasi, fantasi, dan khayalan) terlalu eksklusif untuk digelar di meja publik, tetapi teramat keren dalam komunitas sastrawan, peminat dan penikmat sastra. Meski dalam ranah lain fantasi banyak pula digunakan.Baiklah, sebelum memasuki daerah sengketa antara Netti dan Banda, saya ingin menukilkan kedua orang yang saya kagumi ini. Saya tidak mengenal Netti secara fisik, tetapi saya sangat mengenalnya melalui telaahan sastra yang dilakukannya pada beberapa media surat kabar. Saya mengaguminya karena uraiannya sangat bernas, sistematis, dan bahkan metodis. Pengetahuan kesastraannya begitu endemik dalam aula kognisinya. Itulah sebabnya, ia mampu merantau jauh ke dalam sebuah sajak sampai pada sum-sum sajak itu. Saya mengakui itu, ketika ia menelaah beberapa sajak saya yang dimuat di Mingguan Dian (Ende) beberapa tahun lalu. Dia memang penggarap setia di ladang yang disebut sastra, sebuah bidang kajian yang gersang, tapi dia kerasan menikmati dunia yang sepi itu. Saya sangat sulit menemukan sosok seperti Netti yang bertahan hidup dalam daerah gersang seperti itu, sementara karya sastra bukan merupakan kebutuhan dalam masyarakat NTT yang masih sibuk mempertahankan taraf hidup dan belum bergerak untuk meningkatkan taraf hidup.Sedangkan Maria Matildis Banda adalah seorang sastrawati yang saya kagum bukan hanya karena sering menempelkan latar lokal pada tema besar: 'perarakan sosial' dari old society ke modern society dalam cerpen dan novelnya. Akan tetapi, yang lebih penting pula bahwa ia sanggup berkarya dengan tidak harus melalui Jakarta atau melalui Majalah Horison yang dianggap Sungai Jordan tempat pembabtisan sastrawan. Ia seorang dosen sastra Udayana (Bali), kemudian pindah ke FKIP Undana Kupang dan mengajar pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia tempat saya juga mengajar. Ia juga redaktur sastra Harian Umum Pos Kupang.Kebiasaan Maria Matildis Banda menggarap daerah keilmuan yang sarat tertib ilmiah ikut memberikan karakteristik literer cerpen dan novelnya. Gaya realisme formal, bahkan aroma deskripsi kadang begitu kental. Demikian pula, jarak fiksi dan fakta demikian dekat. Cerpen dan novelnya begitu apik dalam kesederhanaan bentuk. Ia memang bukan ahli ngobrol seperti Putu Widjaya, Danarto, Gerson Poyk, yang sering menelantarkan pembaca awam. Ia menulis cerpen dan novel dalam format literer konvensional, karakter-tokoh-tokoh ceriteranya hitam-putih sehingga mudah dipahami. Pokoknya ia tidak ingin menyiksa pembaca. Tetapi, itu tidak berarti cerpen atau novel Maria M Banda hanya sekadar album sosial yang berisikan fakta yang difiktifkan, atau lamunan sosial yang diberi baju fiksi. Kualitas cerpen Maria M Banda bukan pada lagak literer, tetapi pada tema dan warna lokal yang disodorkannya.Tentang fantasiBaiklah, perkenankan saya memasuki lokus pertengkaran dengan mengutip kembali konsep fantasi yang diutarakan oleh Matildis Banda sebagaimana dikutip oleh AG Netti dari buku 15 Tahun Pos Kupang sebagai berikut: "Fantasi sama dengan khayalan yang tidak nyata. Tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tidak mungkin menjadi kenyataan. Fantasi adalah gambaran semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan. Berfantasi sama dengan mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan yang indah berbunga-bunga. Fantasi adalah daya yang menghasilkan khayalan, berkaitan dengan gambaran obyek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan."Netti membantah pendapat itu. Merujuk pada pendapat sarjana Prancis Roger Fretigny dan Andre Viler, Netti mengatakan, fantasi merupakan kesadaran imajinatif. "Tanpa fantasi, maka daya pemikiran kita yang kerja secara diskursif akan menjadi pincang dan terkurung dalam sebuah sistem yang tertutup dan beku." Dengan beberapa kutipan lain sebagai pisau penodong, sebenarnya Netti sekadar meyakinkan bahwa fantasi adalah suatu kesadaran imajinatif, fantasi itu mewujud, dapat diwujudkan dan berguna. Jadi, fantasi merupakan proses mental yang paling dasar dalam kesadaran imajinasi manusia. Fantasi, dengan demikian, bukan daya yang menghasilkan khayalan, berkaitan dengan gambaran obyek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan sebagaimana dijelaskan Maria Matildis Banda.Singkatnya, Bila Maria M Banda mengatakan bahwa fantasi merupakan sesuatu khayalan yang tak akan terwujud, ilutif, sia-sia dan percuma, maka Netti mengatakan bahwa fantasi merupakan kesadaran imajinatif, ruh yang mempunyai daya hidup dan mampu memfasilitas energi intelektual manusia. Fantasi, oleh karena itu, suatu yang mewujud, dan dapat diwujudkan.Hemat saya, baik Netti maupun Banda hanya terlalu hemat berpikir atau tak terbiasa berpikir hermeneutis yang berusaha memandang persoalan dalam dialektika yang utuh di mana setiap unsur yang berbeda memberikan kontribusi terhadap keutuhan makna fantasi. Terasa ada yang hilang dari penjelasan mereka. Dan yang sial bahwa Netti tidak menyadari bahwa penjelasan mereka saling mendukung dan tidak ada perbedaan yang substansial. Keduanya hanya memegang dua sobekan dari sebuah kertas yang utuh.AG Netti benar ketika ia berangkat dari terminologi atau konsep fantasi sebagai metabolisme pikiran. Hakekat fantasi adalah kesadaran imajinasi. Sebagai kesadaran (imajinatif), fantasi merupakan proses mental paling inti dan paling kreatif dalam pikiran manusia, dan fantasi adalah khas manusia. Manusia hidup dalam lingkungan fantasi, dan setiap manusia mampu berfantasi baik tingkat fantasi rendah (low fantasy) maupun fantasi tinggi (high fantasy). Kemampuan manusia berfantasi yang membedakannya dengan binatang. Herder, anjing kesayangan Anda diajari cara tertentu untuk merespon. Katakan, setiap kali hendak memberikan makan kepadanya, Anda akan mengeluarkan bunyi: "ooo..." lalu disusul dengan menyodorkan piring yang berisikan makanan. Herder pun datang mendekati Anda. Kemudian ia melahap makanan yang Anda berikan. Setiap kali bunyi "ooo... " maka Herder selalu memberikan respon yang sama. Perilaku anjing itu adalah bentuk respon dari stimulus kata "ooo..." yang selalu disertai dengan tindakan memberikan makanan kepadanya. Dalam konteks ini, perilaku Herder bukan berdasarkan fantasi. Karena, ketika Anda mengeluarkan bunyi "ooo..." ia pun datang mendekati Anda dan Anda menghantam batok kepala Herder dengan palu, Herder pun tewas di depan Anda, lalu dijadikan erwe (daging anjing yang telah dibumbui dan siap disaji), lantas disuguhkan kepada tamu Anda. Jadi, berfantasi adalah proses mental yang sangat mendasar dan berpusat pada otak kanan manusia. Karena itu, Kenneth Burke, sosiolog penganjur teori Draturgi, membedakan tindakan manusia dan binatang. Menurut Burke manusia beraksi, sedangkan binatang bergerak. Beraksi berarti melibatkan fantasi, sengaja dan mempunyai maksud. Sedangkan gerakan bisa juga bermakna, bisa juga tidak, dan seringkali tidak bertujuan. Berfantasi adalah proses mental yang sengaja, kreatif, bertujuan dan bermakna.Maria Matildis Banda juga benar ketika ia mengkaji fantasi berangkat dari hasil karya. Fantasi memang sesuatu yang tidak masuk akal. Kenyataan dalam Fantasi memang sulit dijangkau. Kenyataan dalam fantasi mengalami ditorsi dan distance dengan kenyataan empirik. Pada akhirnya kenyataan fantasi adalah kenyataan fantasi. Suatu kenyataan yang dikonstruksi melalui fantasi yang kreatif, tetapi tak dapat dialami.Mari kita masuk ke 'kamar dalam' (sastra) di mana dua orang ini berdebat. Dan saya memulai masuk lokus sastra dengan menenteng ensiklopedi online Wikipedia. Ensiklopedi Wikipedia memberikan pengertian, fantasi is genre that uses magic and other supernatural forms as a primary element plot, theme, and/or setting. Jadi, unsur magik dan bentuk-bentuk supranatural yang tidak masuk akal menjadi elemen dasar dalam membangun baik plot (alur ceritera) maupun tema-tema dalam sebuah karya sastra. Unsur utama fantasi ialah ketidakmasukakalannya dan suddenly (ketiba-tibaan). Makhluk Poti Wolo yang difantasikan sebagai makhluk berkaki kuda berwajah monster, berbuluh lebat-hitam adalah makhluk yang hanya ada dalam fantasi orang Manggarai sebagai makhluk yang berurusan dengan mencabut nyawa manusia secara acak. Dalam kenyataannya makhluk Poti Wolo itu tak ada. Tetapi, fantasi makhluk Poti Wolo sangat berpengaruh terhadap kepercayaan orang Manggarai sehingga pada jam tertentu tidak boleh keluar rumah karena makhluk itu akan lewat. Ini sebuah fantasi yang dikonstruksi oleh pikiran kreatif nenek moyang orang Manggarai.Baiklah, saya ingin mempertemukan Maria Matils Banda dengan AG Neti dalam sebuah ilustrasi yang lain. Dalam sebuah situs internet dilukiskan seorang gadis telanjang, berambut pirang dan panjang, dua payudara yang menjulur menggulung awan, gadis itu mengendarai kuda berekor naga, kuda itu berlari di udara seolah turun gunung-gunung awan dan menuju bulan setengah bulat dibalut korona.Sangat jelas bahwa karya fantasi ini lahir dari pergumulan pikiran kreatif yang sangat intens, dibentuk melalui kesadaran yang mendalam dan kepekaan estetis yang luar biasa dari seseorang. Bukan sekadar kerja asal-asal untuk menghasilkan kesia-siaan. Di sinilah Netti berdiri. Akan tetapi, keseluruhan karya lukisan itu adalah kenyataan yang tidak mungkin dicapai, khayalan semata. Dan itulah kenyataan fantasi. Sampai maut menjemput Anda, tak akan ada payudara gadis mana pun yang bisa menggulung awan. Sampai kapan pun kuda tidak akan berlari di udara menuruni gunung-gunung awan dan seterusnya. Di sinilah posisi Maria Matildis Banda berdiri. Ini adalah kenyataan fantasi dikonstruksi oleh pikiran yang kreatif. Sebuah kenyataan fantasi sengaja dikonstruksi agar didekonstruksi (ditelaah) oleh orang lain. Sebagaimana hasil karya (musik, film, drama, dan sastra), fantasi dikonstruksi kreator dengan tujuan didekonstruksi oleh penikmat.Perjumpaan Netti dan Banda menjadi lebih mesrah jika keduanya berpikir lebih intens ialah bahwa obyek fantasi adalah kenyataan, kenyataan yang dialami. Dengan kata lain, sublimitas fantasi terletak pada obyek yang disubyektivikasikan dan dikreatifkan. Seorang gadis, dua buah payudara, kuda, awan, bulan adalah obyek yang dapat diindrai, suatu kenyataan empirik. Akan tetapi, proses mental seseorang mengkonstruksi ornamen-ornamen yang diambil dari sampah-sampah kenyataan itu menjadi sebentuk fantasi dan jadilah kenyataan fantasi yang memang tidak masuk akal, dan tidak dapat dicapai.Dalam karya sastra, terutama sastra klasik, kisah-kisah fantasi selalu mengandung unsur sihir, horor, monster, dewa-dewa, pahlawan atau kesatria. Jalan ceritera dan latar yang tidak nyata. Kejadian-kejadian dalam ceritera sebenarnya tidaklah masuk akal. Tetapi kejadian tersebut mengikuti alur magis dan suddenly (ketiba-tibaan). Legenda Batu Ba Daun di Larantuka mengisahkan seorang ibu yang begitu sabar meski pada akhirnya sebagai manusia ia mengelak dari kesabaran itu. Anak sang ibu yang berusia kurang lebih dua tahun kepalang rewel. Ia meminta ikan, setelah dikasih ikan meminta udang, setelah dikasih udang, meminta tripang dan seterusnya. Suatu saat, ibunya tak sanggup lagi melunasi permintaan anaknya itu. Lalu, sang ibu mengambil kulit keong di tepi pantai untuk meneteskan air susunya. Air susu itu dititipkan kepada anaknya yang agak besar. Kepada sang anak, sang ibu berpesan: "Nak, kalau adikmu menangis dan haus, berikan susu ini." Tanpa mengucapkan selamat tinggal, sang ibu pergi meninggalkan dua anaknya. Pergi jauh dan teramat jauh. Tapi, tiba-tiba dua anaknya membuntut. Semakin dibuntut semakin jauh jarak antara mereka. Sang adik yang merengek di gendongan kakaknya meminta ibu berhenti. Tapi, ibu tak menoleh, apalagi berhenti. Ketika sampai di Batu Ba Daon ia mencemplungkan diri, dan leher batu itu mereguknya, yang tertinggal hanya rambut sang ibu yang terjuntai di bibir batu. Kedua anaknya meratapi sambil mengelus rambut ibunya. Air susu ibu di kulit keong tetap penuh, setiap kali si kecil minum dan habis, maka air susu ibu menggenang lagi pada kulit keong hingga penuh dan seterusnya.Tak banyak orang yang mencoba secara kualitatif mengkorelasikan fantasi dalam legenda Bato Ba Daon ini dengan misalnya melankolisme lagu-lagu Flores Timur, dan lagu-lagu mereka yang selalu mengandung syair yang berhubungan dengan laut, penyesalan nasib, dan selalu mengajak bale nagi (pulang kampung). Apakah orang Flores Timur sampai hari ini mencari ibu mereka? Dan masih banyak lagi kisah lisan yang menggambarkan fantasi nenek moyang kita. Dalam kazanah sastra dunia kita mengenal kisah Mahabrata, kisah Odisus, kisah Ramayana, kisah Seribu Satu Malam dan lain-lain.Dalam sastra tulis, fantasi sesungguhnya muncul ketika George MacDonal, penulis asal Skotlandia dalam novelnya berjudul: The Princess and the Goblin dan satu lagi berjudul Phantastes. Karya-karya MacDonal memberikan inspirasi kepada penulis-penulis lain terutama JRR Tolkien dan CS Lewis. Bahkan pada abad rasional ini kekuatan fantasi justru menguasai dunia. Lihat saja sukses JK Rowling pengarang novel. Ia menjadi wanita terkaya dunia karena fantasinya sangat memukau dalam buku-buku Harry Potter. Beberapa film yang diambil dari ceritera Harry Potter mencapai rating tertinggi, tertutama film The Lord of the Rings yang disutradarai oleh Peter Jackson. Sejak tahun 1975 para penerbit, seniman, sastrawan, kaum intelektual yang tertarik pada fantasi mengadakan konferensi tiap tahun di setiap kota berbeda. Pada acara ini biasanya diberikan penghargaan terhadap karya fantasi yang terhebat.Sayangnya, serangan Netti menjadi rendah mutunya ketika menyerempet hal yang bersifat merendahkan profesi, terutama ketika Netti terlalu arogan dengan sejengkal argumentasi dan memamerkan pustaka lamanya dengan mengatakan kepada Maria Matildis Banda: "dengan demikian, teori sastra Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi, khayalan pada gilirannya mencederai citra Maria Matildis Banda sendiri sebagai dosen sastra." Padahal, uraian Netti tidak lebih benar dari argumetasi Maria Matildis Banda. Lebih ngawur lagi ketika Netti mengatakan bahwa tulisan Maria Matildis Banda dapat mengurangi kualitas buku 15 Tahun Pos Kupang. Ah, yang benar Bung! Jangan terlalu rajin berpikir generatif, nanti terperosok ke dalam cara berpikir masif. Sedangkan uraian Anda hanya satu sobekan yang tak lengkap tentang fantasi dan hanya menjadi lengkap jika digabungkan dengan sobekan yang dipegang oleh Maria Matildis Banda.Meski demikian, bagi saya, inilah pertengkaran yang menyembuhkan. Sebab, argumentasi kedua orang ini secara substansial saling melengkapi. Perbedaan tidak selalu bertentangan, dan dua orang yang terlibat berdebat hanya cara khas untuk merampungkan keutuhan mengenai konsep fantasi. Tetapi, pertengkaran ilmiah seperti ini harus keluar dari lokus yang melecehkan dan berusaha mengurangi hasrat tendensius. Saya kira Bung Netti hanya sengaja lupa pepatah kuno: "dalam ilmu silat tidak ada yang juara dua, dan dalam silat ilmu tidak ada yang juara satu."

* Opini Pos Kupang, 26 Februari 2008, halaman 14.
Diposting oleh JURNALIS NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar