Sabtu, 15 Maret 2008

KOMPAS: Matahari Intelektual dari Flores


Oleh SAMUEL OKTORA

Tahun depan usia Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tengara Timur, genap 70 tahun. Masa pengabdian yang cukup tua. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara khusus mempersiapkan calon imam, sekolah ini boleh dikata “matahari” intelektual dari timur.

Meski berada di pulau yang merupakan daerah tertinggal dengan segala keterbatasan, dililit kemiskinan, lembaga pendidikan tinggi bidang filsafat dan teologi kontekstual ini justru mampu mengimplementasikan dirinya sebagai “garam” dan “terang” dalam dunia pendidikan.
“Dalam kurun waktu 23 tahun sejak tahun 1983, STFK (Sekolah Tinggi Filsafat Katolik) Ledalero telah mengirimkan mahasiswanya dan lulusannya sebanyak 300 orang ke 37 negara. Penugasan antara lain ke Amerika Latin, Afrika, Eropa, bahkan Rusia. Ini satu catatan menggembirakan yang bisa diperbuat STFK Ledalero,” kata Rektor Seminari Tinggi St Paulus Ledalero, Pater Dr Philipus Tule SVD.
Sebanyak 300 alumni STFK Ledalero yang telah dikirim ke luar negeri ini merupakan jumlah yang menggembirakan. Perubahan besar juga terjadi untuk tenaga pengajar. Sebab sejak tahun 1980-an, tenaga pengajar didominasi dosen dari luar negeri, terutama dari Eropa.
Pada tahun ini, dari 44 dosen tetap (S-2/S-3), dosen dari luar negeri hanya tiga orang, yang lain dosen Indonesia. Ketiga dosen dari luar negeri itu adalah Pater Dr George Kirchberger SVD dari Jerman, Pater Jozef Pieniazek SVD dari Polandia, serta Pater Dr John M Prior SVD asal Inggris.
Selain itu, dari tradisi penyelenggaraan pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk berpikir kritis dan mandiri dalam berbagai hal, seperti yang diterapkan dalam perkuliahan Filsafat, juga telah banyak menghasilkan pemikir, ilmuwan, serta pekerja media di tingkat nasional.
“Lulusan STFK Ledalero antara lain Daniel Dakidae, Ignas Kleden, dan Yohanes Riberu. Yang sekarang juga menjadi anggota DPD Willem Openg, lalu Wakil Ketua DPRD NTT, Kristo Blasin. Umumnya yang drop out dari imam banyak juga yang menjadi birokrat terutama di NTT,” kata Pater Philipus Tule, yang meraih gelar doktor di The Australian National University Canberra, Australia, ini.
“Salah satu faktor mereka mampu eksis di luar itu dimungkinkan karena memiliki modal kuat berupa akal sehat, berpikir kritis, dan mandiri. Selain itu, karena lembaga pendidikan ini juga mempersiapkan calon imam, maka ditunjang pendidikan dengan penekanan pada aspek moral dan etika. Sebab, kemampuan berpikir kritis saja tak cukup. Orang demikian akan banyak musuh. Di sini mahasiswa juga ditekankan ilmu teologi, humaniora, termasuk psikologi, pedadogi, maupun konseling,” ujar mantan Ketua STFK Ledalero periode 1992-1994 ini.
Dialog antaragama
Di lingkungan lembaga pendidikan calon imam yang terletak sekitar 10 kilometer dari kota Maumere, Sikka, ini juga telah dilakukan dialog antaragama, baik dalam tataran teoretis akademis, seminar, maupun dalam tataran praktis lewat relasi, dan komunikasi sehari-hari. Tujuannya antara lain membangun solidaritas lintas agama.
Terobosan lain ialah pelaksanaan Festival Ledalero 2005-2006. Festival dengan tema “Pemuda-Budaya-Komunikasi” ini dibuka tahun 2005 dan ditutup tanggal 30 Oktober 2006. Festival ini diadakan sekaligus sebagai bentuk tanggapan positif STFK dan Penerbit Ledalero terhadap pencanangan “Tahun Budaya Nasional” Tahun 2005-2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam rangkaian festival antara lain digelar pementasan budaya berupa tarian dan musik adat serta lomba karya tulis berupa cerpen, puisi, dan resensi buku. Diharapkan melalui kegiatan ini dapat turut membangkitkan minat generasi muda pada karya tulis-menulis, buku-buku, serta mencintai seni dan budaya lokal.
Selain itu, festival ini juga bertujuan untuk membuka isolasi informasi dan kebutuhan intelektual selama ini. Kondisi demikian yang membuat intelektual di NTT, khususnya anak-anak muda, tertinggal dalam skala nasional.
Meskipun ada penolakan dari pihak pengelola, yakni Yayasan St Paulus yang berkedudukan di Jalan Katedral Ende, STFK juga mendirikan usaha penerbitan, yaitu Penerbit Ledalero pada tahun 2002. Penolakan atas penerbitan baru ini karena di Ende sudah ada Penerbit Nusa Indah.
Tiap tahun Ledalero rata-rata menerbitkan 10–15 judul buku. Tiap judul bisa dicetak sekitar 2.000 eksemplar. Buku-buku yang diterbitkan seputar teologi, filsafat, sosiologi, maupun antropologi. Buku terbitan Ledalero sebagian besar merupakan karya intern dari para dosen, hasil penelitian, serta ada pula terjemahan, bunga rampai, maupun hasil seminar-seminar.
“Pertimbangan didirikan penerbitan ini, karena sebagai lembaga pendidikan tinggi perlu ada penerbitan akademik khusus yang dikelola langsung oleh akademisi. Sementara otoritas sebuah penerbit untuk sampai pada kegiatan menerbitkan satu buku harus ada dasar keilmuan. Isu-isu yang diangkat Penerbit Ledalero umumnya seputar teologi dan filsafat, kalau hal ini dikelola oleh non-akademisi akan kesulitan, dan bisa memberikan pemahaman atau terjemahan yang terlalu membias,” ujar Pater Tule.
Pendirian Penerbitan Ledalero juga sebagai bentuk apresiasi, dan salah satu upaya memberi ruang seluas-luasnya bagi para dosen di STFK Ledalero untuk membuat karya ilmiah dan membukukannya. “Selama ini karya para dosen hanya dalam bentuk stensilan atau buku diktat. Dengan hadirnya Penerbit Ledalero, banyak bahan pengajaran para dosen yang dibukukan. Namun, kami juga membuka ruang bagi karya-karya sastra,” tutur Pater Philipus Tule, Rektor Seminari Tinggi St Paulus Ledalero ini.
Di sisi lain, guna menunjang aktivitas belajar mengajar, perguruan tinggi ini juga dilengkapi perpustakaan berupa gedung berlantai dua, dengan luas keseluruhan 831 meter persegi.
Perpustakaan ini memiliki koleksi judul buku mencapai 43.274 judul, dan keseluruhan buku berjumlah 69.048 eksemplar. Buku-buku itu dari berbagai bidang seperti filsafat, teologi, ilmu sosial, linguistik, kesenian dan olahraga, kesusastraan, sejarah, geografi, teknologi terapan, ilmu-ilmu murni, ensiklopedi dan kamus. Bahkan, perguruan tinggi ini juga memiliki Museum Bikon Blewut, dengan jenis koleksi dari penemuan dan penggalian sejak tahun 1950 hingga 1965.
Bangunan kokoh STFK Ledalero didirikan di atas lahan sekitar 11 hektar. Lembaga ini juga mengelola lahan pertanian, perkebunan, maupun peternakan untuk kebutuhan mahasiswa dan masyarakat sekitar.
Makna Ledalero
Makna Ledalero sendiri dari kata leda berarti ’sandar’, dan lero adalah ’matahari’ atau ’bukit’. Berarti makna Ledalero adalah bukit sandaran matahari. Menurut Pater Tule, masyarakat sering menyebut demikian, sebab dimungkinkan jika dilihat dari Maumere, saat matahari terbenam, akan tampak seolah-olah matahari bersandar di bukit di kawasan lembaga pendidikan ini berada. “Dulu tempat ini dikenal angker, katanya banyak setan dan masyarakat tak berani untuk menempati. Lalu masuklah para misionaris ke sini,” ujarnya.
STFK Ledalero merupakan peningkatan dari Seminari Tinggi St Paulus Ledalero, yang didirikan oleh Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD), sebagai tindak lanjut dari ensiklik, surat edaran/pesan tertulis dari Paus Benediktus XV, tahun 1919.
Tahun 1935 kegiatan per kuliahan sudah berjalan dengan mahasiswa sebanyak 13 orang. Namun, pada 20 Mei 1937 barulah sekolah tinggi ini disahkan. Tanggal ini sekaligus dijadikan tanggal resmi berdirinya STFK Ledalero. Dua pastor yang pertama ditahbiskan pada tanggal 28 Januari 1941.
Lembaga pendidikan ini menggunakan nama Seminari Tinggi St Paulus Ledalero sampai tahun 1969. Pada Januari 1969 berdiri secara resmi Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STF/TK) Ledalero sebagai salah satu bagian dari Seminari Tinggi.
Dalam rangka penyesuaian jalur, jenjang, dan program pendidikan perguruan tinggi swasta (PTS), sejak 29 November 1984 sekolah tinggi ini mengambil program studi S-1 dengan status diakui. Baru pada tahun 1990, untuk jenjang S-1, STFK Ledalero mendapat status Disamakan. Tahun 1997, sekolah tinggi ini mendapat status terakreditasi berperingkat B untuk Jurusan Ilmu Filsafat dan Program Studi Filsafat Agama Katolik.
Menurut Ketua STFK Ledalero, Pater Dr Henricus Dori Wuwur SVD, dengan dibukanya kesempatan pendidikan bagi kaum awam tak berpengaruh negatif terhadap pembentukan kepribadian para calon imam.
“Justru situasi demikian merupakan proses pembelajaran yang baik bagi para calon imam, terutama untuk mereka berkomunikasi dengan orang awam atau di luar kelompoknya. Sebab justru kondisi demikian realitas sebenarnya yang nanti akan dihadapi ketika terjun dalam pelayanan. Berbaur dengan kaum awam juga akan menguji mereka, apakah benar-benar siap atau tidak menjadi imam,” tutur Pater Wuwur.
Sekarang ini, bahkan STFK Ledalero telah membuka program pascasarjana gelar (magister/S-2). Program tambahan lain ialah non-gelar di bidang teologi dengan pendekatan kontekstual.
Keindonesiaan dari Bikon Blewut
Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur ternyata aslinya bernama Pulau Ular. Dalam bahasa Lio, Nusa Nipa. Nama Flores ternyata pemberian orang Portugal ketika pertama kali datang ratusan tahun silam. Toh dari pulau yang sayup dari Jakarta ini, keindonesiaan sempat dibina.
Makna sejarah Pulau Flores itu dituangkan dalam bentuk lukisan berjudul “Nusa Nipa” pada sebuah tripleks. Lukisan itu masih terpampang sebagai bagian dari jenis koleksi di Museum Bikon Blewut di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Lukisan karya Frater Goris Leki (1993) itu berwarna dasar biru muda. Bentuknya berupa gambar pulau yang dililit seekor ular mengusung sejumlah perhiasan emas, lalu diterangi cahaya matahari.
Almarhum Pater Piet Petu SVD yang meminta Frater Leki untuk melukisnya pada saat itu. Maksudnya agar secuil sejarah Pulau Flores dapat dengan mudah diketahui dan diingat terutama oleh generasi muda.
“Di daratan Flores, kalau orang Manggarai menyebut pulau ini dengan Nuca Nepa Lale (Pulau Ular yang Indah). Sementara orang Ngada dan Ende menyebut Nusa Nipa. Tapi, orang Larantuka (Kabupaten Flores Timur) menyebut dengan Nuha Ula Bungan (Pulau Ular yang Suci). Semua sebutan ini turut dituangkan dalam lukisan agar orang lebih mudah memahami dan mengingatnya,” ungkap Staf Harian Museum Bikon Blewut, Endy Paji (43). Warga Desa Nita, Kecamatan Nita, Sikka, ini secara lancar dapat menjelaskan tiap jenis koleksi kepada para pengunjung tanpa harus membaca teks atau dokumen museum.
Adapun nama Pulau Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular diberikan karena beberapa alasan. Yang pertama, di Pulau ini banyak dijumpai ular. Kedua, nenek moyang pulau ini mempunyai keyakinan, jika seseorang bertemu ular atau didatangi ular, maka ia akan memperoleh rezeki.
Pertimbangan lainnya karena ular dianggap sebagai dewa atau titisan arwah leluhur oleh marga tertentu. Oleh karena itu, sampai sekarang masih dipegang kepercayaan jika ular memasuki rumah atau berhenti di ladang, maka oleh tuan rumah atau pemilik ladang tak akan diusir, dilukai, atau dibunuh. Sebaliknya, ular itu akan dibentangkan sarung serta dihidangkan makanan berupa telur dan beras mentah.
Jenis koleksi unik lainnya di museum ini adalah lukisan pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani yang meninggal akibat Gerakan PKI tanggal 30 September 1965. Lukisan itu selesai dibuat detik-detik menjelang kematian Achmad Yani. Lukisan bergambar Sang Jenderal dengan baju kedinasan hijau itu merupakan karya almarhum Frater Bosco Beding pada tanggal 30 September 1965. Bosco Beding membuat lukisan itu lewat foto Achmad Yani. Sementara gambar Achmad Yani diambil ketika dia memberikan ceramah di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero tanggal 25 September 1965. Lukisan itu sendiri selesai dibuat tanggal 30 September malam. Namun, tak lama setelah itu, tanggal 1 Oktober dini hari, diberitakan lewat RRI bahwa jenderal itu telah dibunuh pada peristiwa 1965.
Ada pula jenis koleksi kuno yang lain berupa fosil fauna, yaitu fosil Stegodon, sejenis gajah raksasa yang ditemukan di Ola Bula, Kabupaten Ngada, Flores, pada bulan Desember 1956 oleh Tim Ekspedisi Verhoeven.
Fosil ini dinamakan Stegodon Trigonocephalus Florensis karena ditemukan di Flores. Diperkirakan hewan ini telah hidup di Flores pada periode 400.000 tahun—10.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Selain di Ola Bula, fosil juga ditemukan di Mengeruda, Matamenge, dan Boaleza di Ngada. Lokasi penemuan itu dari satu titik ke titik yang lain diperkirakan seluas 10 kilometer.
Namun amat disayangkan, potongan atau pecahan fosil gajah raksasa ini seluruhnya tak dapat disaksikan umum. Karena keterbatasan ruang, potongan fosil gajah itu terpaksa sebagian besar ditaruh berjejalan di dalam peti atau kotak penyimpanan. Puluhan ribu jenis koleksi museum ini sampai sekarang hanya disimpan dalam satu ruangan berukuran sekitar 99 meter persegi.
Fosil manusia raksasa
Pada 11 Juli 1998, Tim Ekspedisi Museum Ledalero yang dipimpin Piet Petu SVD dan Ansel Doredae SVD menemukan fosil tengkorak manusia raksasa (a mythical gigantic skeleton) di Lia Natanio, Ngada, yang terletak 12 kilometer dari lokasi penemuan fosil Stegodon di Ola Bula. Fosil itu kini sedang dipelajari atas dasar hipotesis bahwa besar kemungkinan fosil tengkorak tersebut mempunyai kaitan historis dengan fosil gajah Stegodon.
Theodor Verhoeven SVD pada 1954 juga menemukan fosil manusia purba penghuni goa di Liang Toge, bagian utara Kabupaten Manggarai yang berbatasan dengan Riung, Ngada. Fosil yang ditemukan jenis manusia kerdil. Usia diperkirakan di atas 40 tahun dengan tinggi badan cuma 146 sentimeter. Usia fosil itu diperkirakan 300.000 tahun SM.
Penemuan ini dinilai penting bagi ilmu pengetahuan internasional karena merupakan satu-satunya fosil manusia terlengkap di dunia. Profesor Huizinga dari Universitas Utrecht Belanda dan Prof Koeningswald menyimpulkan bahwa fosil ini berasal dari jenis manusia ras Negrito yang pernah berdiam di Flores. Akan tetapi, karena jenisnya lebih tua, maka disebut Proto Negrito. Artinya manusia yang lebih tua dari Negrito.
Karena ditemukan di Flores, fosil itu kemudian disebut Proto Ngerito Florensis. Namun, fosil manusia Proto Negrito Florensis masih tersimpan di Universitas Utrecht. Dengan demikian, diduga kuat Flores telah dihuni manusia sejak 300.000 tahun SM.
Keunikan lainnya, di museum ini juga tersimpan alat-alat kebudayaan Dongson, berbahan perunggu. Peninggalan itu sebagiannya diperoleh dengan cara ganti rugi dan sebagian melalui penelitian. Alat perunggu yang paling istimewa adalah keris perunggu. Keris ini merupakan satu-satunya yang pernah ditemukan di Indonesia. Keris ini ditemukan tahun 1952 oleh Pater Mommersteeg SVD di daerah Naru, Ngada. Keris itu adalah milik suku Naru, yang tak lagi digunakan sebagai senjata, melainkan untuk upacara keagamaan.
Koleksi langka lainnya, temuan tahun 1954, berupa tiga buah kapak perunggu di Kampung Guru Lama oleh Pater Darius Nggawa SVD dan Pater Frans Nurak SVD. Sayang, kapak yang pernah dimiliki museum itu diketahui telah dijual arkeolog Verhoeven ke Museum Bassel, Swiss.
Nama museum Bikon Blewut diturunkan dari syair adat penciptaan semesta alam atau buana, versi Krowe-Sikka yang berbunyi Saing Gun Saing Nulun/ Saing Bikon Saing Blewut/ Saing Watu Wu’an Nurak/ Saing Tana Puhun Kleruk/ De’ot Reta Wulan Wutu/ Kela Bekong Nian Tana Lero Wulan. Maknanya, sejak zaman purbakala, ketika bumi masih rapuh, ketika batu masih merupakan buah muda, ketika tanah masih seperti kuntum yang baru muncul, Tuhan di angkasa mencipta bumi, matahari, dan bulan.
Dengan demikian, konsep nama Bikon Blewut menunjukkan kepurbaan atau ketuaan dari beberapa jenis koleksi yang dikumpulkan dalam museum ini. Pencetus nama Bikon Blewut adalah Pater Piet Petu SVD, kurator museum periode 1983-1998. Saat ini kuratornya dipegang Pater Ansel Doredae SVD. Oleh Seminari Tinggi St Paulus Ledalero, lembaga ini disebut juga sebagai Museum Misi dan Budaya karena mayoritas jenis koleksi yang dilestarikan merupakan hasil karya etnografis para misionaris SVD.
Keberadaan Museum Bikon Blewut yang menyimpan sejumlah kekayaan budaya Flores ini tak lepas dari peran para misionaris SVD pada awal abad ke-19. Umumnya imam SVD merupakan ahli di bidang sejarah, bahasa, serta kebudayaan (etnolog dan antropolog). Misionaris SVD yang turut mengambil bagian dalam penemuan dan pengumpulan kekayaan budaya Flores antara lain Paul Arndt SVD, Theodor Verhoeven SVD, Guisinde SVD, Jilis Verheijen SVD, dan Paul Schebesta SVD.
Sepintas orang mungkin tak menyangka bahwa di lembaga pendidikan tinggi ini terdapat museum yang kaya akan jenis koleksi dengan nilai sejarah tinggi. Belum lagi letak museum yang jauh di bagian timur, serta tak ada petunjuk yang dipasang di tempat-tempat strategis mengenai keberadaan museum.
“Sebenarnya banyak sekali jenis koleksi yang masih disimpan. Namun sayang, karena kekurangan tempat, tak semua jenis dapat dipamerkan. Seperti fosil gajah yang diperkirakan usianya sudah ribuan tahun hanya sebagian yang dipamerkan,” ungkap Bapak satu anak ini.
Dengan mencermati sekian banyak jenis koleksi yang khususnya merupakan kekayaan kebudayaan Flores, museum ini niscaya merupakan aset nasional yang amat berharga, terutama tentang pluralitas kita.
Lukisan Jenderal Achmad Yani yang sederhana tadi, salah satu bukti saja, bahasa sejarah nasional dan keindonesiaan kita ternyata ikut diolah dan dibina dari museum ini….
Perjalanan Panjang Percetakan Arnoldus
Penderitaan, kemiskinan, kemelaratan—juga keterbelakangan—merupakan cap yang sampai kini masih melekat pada wilayah Indonesia bagian timur, seperti Pulau Flores dan daerah lainnya di Nusa Tenggara Timur.
Namun, itu bukan akhir harapan. Percetakan Arnoldus Ende di Kota Ende, yang merupakan percetakan pertama di Pulau Flores, bisa membuktikannya.
Percetakan yang berdiri 80 tahun lalu, tepatnya pada 1926, merupakan unit perusahaan PT Arnoldus Nusa Indah (PT ANI) yang sampai sekarang tetap berkibar. Bahkan, percetakan ini terus berkembang dengan segala tantangan dan tingkat kompetisi yang makin berat.
Di satu sisi, percetakan ini juga mengemban misi membantu pewartaan gereja lokal di Flores. Akan tetapi, publikasi umum—termasuk buku-buku pendidikan dan filsafat—merupakan ranah penerbitan yang banyak ditopang tenaga-tenaga ahli rohaniwan itu. Dengan demikian, Percetakan Arnoldus juga berkembang bukan semata-mata menjalankan usaha bisnis, tetapi juga pendidikan dan kerohanian.
“Kendala yang kami hadapi cukup berat, yakni masalah sumber daya manusia dan ketertinggalan dalam hal teknologi,” kata Koordinator Divisi Percetakan Arnoldus Ende, Bruder Yakobus Pajo SVD.
Jumlah karyawan percetakan di Jalan Katedral No 5, Ende, ini semula hanya 20 orang, kini sudah menjadi 65 orang. Jumlah ini sudah berkurang beberapa orang karena ada yang dipindah ke unit perusahaan lain, atau telah memasuki masa pensiun.
Percetakan Arnoldus merupakan salah unit usaha PT ANI. Unit usaha yang lain, yaitu Toko Buku dan Penerbit Nusa Indah, harian Flores Pos, bengkel kayu dan besi, serta sebuah sanggar rekaman lagu. Dengan segala keterbatasan peralatan percetakan dan SDM, beban percetakan juga tak ringan. Apalagi terkait perubahan struktur perusahaan yang dilakukan pada Oktober 2005.
Perubahan struktur yang dimaksud berupa penggabungan semua unit usaha dalam satu garis komando. Konsekuensinya, unit yang “basah” akan membantu kelangsungan unit yang “kering”. “Dari sekian unit, yang menerima order secara kontinu dan relatif besar dalam hal pemasukan adalah percetakan dan bengkel kayu,” ujarnya.
Percetakan Arnoldus kini telah membuka cabang di Labuan Bajo (Kabupaten Manggarai Barat) dan Lewoleba (Kabupaten Lembata), serta di Kota Kupang. Percetakan di tingkat cabang hanya melayani bidang pekerjaan kecil, seperti penjilidan serta fotokopi. Pesanan dengan oplah besar akan ditangani di Ende.
Pesaing
Di sisi lain, dengan mulai masuknya pesaing di wilayah NTT, Bruder Pajo menyatakan hal ini bukan menjadi petaka, melainkan justru pemicu untuk terus meningkatkan kualitas, kreatif, dan inovatif.
Percetakan yang berdiri di NTT umumnya hanya memasang nama atau bendera, sementara untuk produksi mereka masih bekerja sama dengan percetakan besar di Jawa. Hal ini tentu akan berdampak pada harga, sehingga pesaing demikian tak terlalu menakutkan bagi Percetakan Arnoldus.
Meski harga cetak penerbit yang “berafiliasi” ke percetakan di Jawa lebih murah, hal ini dapat disiasati dengan selisih harga tak terlalu besar, jaminan kualitas yang tak mengecewakan, serta order diselesaikan dalam waktu cepat.
“Kami bisa menyiasatinya dengan mengambil keuntungan sedikit saja, sebab tak dapat dimungkiri untuk bahan baku kami harus mengambil dari Jawa. Sementara percetakan di Jawa tanpa harus mengeluarkan ongkos ekspedisi, karena bisa mendapatkan bahan di tempat. Tapi, jangan lupa, terkadang tak disadari oleh pemesan, mereka bisa mengeluarkan biaya yang tak terduga. Misalkan, kalau ada masalah dalam percetakan di Jawa, atau harus mengalami perubahan, bukankah pemesan akan menghubungi percetakan itu? Biaya interlokal, kan, besar,” kata bruder yang pernah ditugaskan di Australia ini.
Selain menerima order dari swasta, Percetakan Arnoldus juga banyak menerima pesanan dari dari BUMN, serta pemerintah daerah di Flores. Order dari pemda biasanya dari dinas pendidikan, dinas pendapatan daerah, serta rumah sakit umum daerah (RSUD). Namun, order terbanyak percetakan ini menyangkut buku-buku rohani.
Selain itu, percetakan ini juga bekerja sama dengan PLN Cabang Flores Bagian Timur, serta BNI Cabang Flores Bagian Barat dan Timur. Pada Pemilu 2005, percetakan ini juga melayani pesanan dari komisi pemilihan umum daerah (KPUD) untuk pencetakan surat suara. Surat suara itu untuk pemilihan kepala daerah di Kabupaten Ngada dan Manggarai Barat.
“Dengan demikian, peluang di bidang percetakan masih tetap terbuka lebar. Tinggal bagaimana membaca peluang tersebut dan meraihnya. Tenaga pemasaran memang harus kuat dan jeli,” katanya.
Nama Arnoldus
Nama Arnoldus mengambil nama dari Beato Arnoldus Janssen, pendiri ordo SVD (Societas Verbi Divine). Pemilihan nama Arnoldus dijadikan sebagai pelindung percetakan ini. Cetakan pertama pada 21 Juni 1926 berupa buku doa yang disusun dalam bahasa Melayu. Buku itu berjudul Sende Aus yang artinya Utuslah.
Pemrakarsa pendirian percetakan adalah Pater Petrus Noyen SVD, yang merupakan pretek apostolik pertama di wilayah Nusa Tenggara. Pater Noyen kala itu didukung oleh Pater Frans D Lange SVD.
Beroperasinya Percetakan Arnoldus pada waktu itu juga tak lepas dari bantuan Percetakan St Mikael di Steyl, Jerman. Mesin cetak dari Steyl tiba di Pelabuhan Ende pada April 1926. Satu bulan kemudian, dua pekerja yang bertugas sebagai tenaga pencetak di bawah pimpinan Bruder Viatori dari Shanghai tiba di Ende.
Mesin-mesin yang dikirim pada saat itu antara lain mesin cetak Boston, lalu masing-masing satu mesin susun tipograf, segel pres, mesin jilid kawat, dan mesin potong kertas.
Berikutnya, tercatat dalam kurun waktu 1947-1954 juga didatangkan satu mesin susun linotype, satu mesin perforasi, dan mesin jahit penjilidan. Lalu, pada tahun 1974, percetakan ini juga melakukan modernisasi dengan mendatangkan dua unit mesin ofset.
“Mesin yang kami pakai ada yang dari Jerman, Jepang, dan pernah Cekoslowakia. Bahkan, sampai sekarang ada satu unit yang masih digunakan, yaitu mesin cetak yang pernah digunakan Harian Kompas. Kendala yang kami hadapi soal teknologi, mesin percetakan biasanya mesti diganti setiap sekitar tiga tahun. Tapi, karena keterbatasan modal, kami menggantinya lebih lama, paling tidak sampai lima tahun baru ganti,” tutur Pajo.
Bruder Pajo, yang juga pernah ditugaskan di Papua Niugini (1998), mengungkapkan bahwa tahun lalu Percetakan Arnoldus baru membeli mesin dari Jepang seharga Rp 500 juta serta tiga unit mesin cetak warna seharga Rp 1 miliar. Adapun omzet Percetakan Arnoldus dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir mencapai sekitar Rp 1 miliar per tahun.
“Tetapi, alat-alat yang baru kami beli itu sebenarnya masih tertinggal juga jika dibandingkan dengan teknologi percetakan di Jawa yang sudah mampu mencetak empat warna sekali kerja. Sedangkan yang kami miliki saat ini baru dua warna,” ungkapnya.
Kendala lain yang dihadapi percetakan ini menyangkut SDM. Menurut Bruder Pajo, tenaga kerja percetakan di Flores tidak siap pakai. Dia mencontohkan, lulusan SMK di Ende belum ada yang memiliki spesifikasi di bidang grafika.
“Kalau di Jawa tak susah mencari tenaga grafika. Seperti di Jakarta ada SMK Budi Mulia. Dengan demikian, kalau kami merekrut tenaga teknik lokal harus dididik lagi. Ini jelas membutuhkan waktu. Tetapi, bagaimanapun harus kami lakukan, sebab sesuai misi awal, antara lain adalah sebagai bentuk tanggung jawab sosial memberdayakan masyarakat Flores yang tertinggal,” ujar bruder yang pernah menjabat Wakil Manajer Percetakan Arnoldus Ende.
Adapun untuk mengejar ketertinggalan teknologi, salah satu upaya yang sedang dipikirkan adalah pembelian mesin berteknologi baru dengan bantuan modal dari bank.
“Tetapi, upaya ini masih kami pertimbangkan secara hati-hati. Memang sudah ada pembahasan dengan pihak bank. Namun, dengan pinjaman yang besar, maka dituntut konsekuensi kerja lebih keras untuk dapat mengembalikan pinjaman. Lagi pula, yang menjadi kendala saat ini adalah mental dan budaya kerja karyawan belum siap,” ujar Direktur Utama PT ANI, Bruder Gerinus Sanda SVD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar