Jumat, 14 Maret 2008

Korem Flores:Banyak Pertanyaan yang Belum Terjawab

http://www.mirifica.net/. (28 September 2007 16:28)

Rencana pembentukan Korem di Flores jalan terus. "Korem Flores, DanremMinta 66 Hektare Tanah", ini headline sebuah koran lokal baru-baru ini."Masyarakat Flores itu sekian ratus ribu, kalau yang menolak 50 orang ngapain kita pedulikan. Dia (masyarakat) boleh menolak, saya boleh juga bangun rumah (Korem) saya untuk kepentingan orang lebih banyak." Kata-kata tegas ini berasal dari mulut Panglima Kodam IX Udayana usai upacara HUTKodam IX Udayana, bulan Mei lalu (Detik.com 28/05/2007).Apa yang dikatakan tadi mirip dengan kata-kata Jenderal TNI Wiranto tatkala menanggapi penolakan pembentukan Korem di Flores pada tahun 1999 lalu. "Jadi itu bukan penolakan dari seluruh masyarakat, itu hanya reaksi dari beberapa masyarakat yang belum memahami permasalahan. Malah Korem mendapat tawaran tanah dari masyarakat setempat, itu kan luar biasa" (FP8/10/1999). Di atas basis hak dan kebebasan warga negara dan demi terciptanya TNI yang profesional, alasan-alasan di balik rencana pembentukan Korem di Flores yang kini muncul lagi harus diperiksa dengan saksama. Satu, ketika kita membandingkan statemen dari dua petinggi militer dari waktu yang berbeda itu, terang-benderang terlihat bahwa sikap dasar dalam memahami diri dan kekuasaan serta relasinya dengan warga tak ada perubahan signifikan. Masih seperti yang itu-itu juga. Kata-kata seperti "ngapain kita pedulikan"dalam komunikasi dengan rakyat rasanya menyebarkan aroma, maaf, tabiat arogansi. Dua, apa yang diperlihatkan kepada warga adalah suatu simplifikasi persoalan yang kebablasan. Rupanya ia adalah buah dari olah nalar antah-berantah. Masa, urusan pembentukan Korem di suatu pulau disahkan dengan hibah tanah dari seorang warga untuk tentara. Atau karena TNI sudah memiliki sekian hektar tanah. Atau, juga, dilegitimasi dengan desakan mereka yang disebut tokoh masyarakat dari Nageko itu dalam pertemuan dengan Danrem Wiraksakti Kupang baru-baru ini. Aneh, kalau bukan konyol.Tiga, total populasi Flores menurut BPS 2006 sebanyak 1.678.826 orang,kalau ditambah Lembata, harus ditambah lagi 98.646 orang. Pertanyaannya,dengan alat ukur apa kita tahu bahwa mereka yang menolak pembentukan Koremdi Flores itu jumlahnya 50 orang saja? Katakanlah ini adalah pernyataan retoris, yang dimaksudkan bahwa yang menolak kehadiran Korem di Flores itu hanyalah jumlah minoritas dari total populasi; dari mana kita tahu bahwa pernyataan ini benar? Jeblok dalam menjawab pertanyaan ini dengan data dan argumentasi yang kokoh yang terbuka pada ujian publik berarti membenarkan tuduhan bahwa adanya muslihat untuk melegitimasi suatu kepentingan yang bukanlah empunya rakyat kebanyakan.Pada masa Ordenya Jenderal TNI AD (purn.) Soeharto kita tahu bahwa KomandoTeritorial (Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Babinsa) adalah salah satu pilar militerisme yang paling represif ketimbang pilar-pilar yang lain (FadjroelRachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, 2007). Sejujurnya, mengapa dan untuk apa Korem akan dibentuk di Flores? Demi stabilitas dan keamanan? Apa sesungguhnya ancaman riil terhadap stabilitas dan keamanan itu? Dalam ordenya Sang Jenderal tadi, alasan stabilitas dan keamanan itu dipakai secara manipulatif untuk melegitimasi berbagai tindakan kekerasan, dan itu tidak hanya satu, tetapi seribu satu. Empat, Rakyat sering diatasnamai dan tak jarang dikibuli. Kalau pembangunan Korem di Flores itu adalah demi kepentingan orang banyak, apa kandungan dari kepentingan orang banyak itu? Bukanlah tugas seorang petinggi TNI untuk menetapkan mana yang menjadi kepentingan orang banyak di Flores dan mana yang tidak. Tak boleh ada intimidasi. Bukankah, harga diri, hak dan kebebasan rakyat adalah suatu yang asasi dan tak boleh dikangkangi, walaupun pembetukan Korem di Flores itu dibuat atas nama kebaikan dan kepentingan umum yang senyatanya?S emoga warga dan TNI sendiri tidak sesat menafsir mandat dan tugas yang diberikan oleh rakyat kepada TNI. Tugas TNI mempertahankan kedaulatan bangsa adalah soal yang satu, memaksakan kehendak kepada rakyat, termasuk dengan kilah bahwa rakyat tak paham atau bodoh adalah soal yang lain. Dan ketika yang kedua ini terjadi, maka meminjam istilah penyair miskin kerontang Wiji Thukul, hanya satu kata: lawan. Ketika substansi statemen tadi, dan pernyataan-pernyataan yang mengesahkan kehadiran Korem di Flores pada waktu-waktu sebelumnya, tak dilandasi datayang valid dan analisis yang sahih tahulah kita bahwa statemen-statemenitu tak lain adalah pemaksaan kehendak kepada rakyat, khusunya di Flores.Yang ada di balik pemaksaan seperti itu adalah klaim monopoli kebenaran. Bukankah kita belum sepenuhnya keluar dari kebangkrutan yang dibuat oleh regime Jenderal Besar TNI (purn.) Soeharto, pemilik kebenaran, yang memenjarakan dan menghabisi demokrasi?Tatkala ide tentang pembangunan Korem di Flores itu dipaksakan pada tahun1999 selepas kekalahan militer dan politik Indonesia di Timor Lorosae sebagian besar orang Flores, masyarakat umum, aktivis NGO, mahasiswa,sekolah tinggi dan universitas, tokoh masyarakat, tokoh agama, wakil-wakil rakyat berteriak keras, sangat keras, bilang tidak melalui serangkaian demonstrasi dan berbagai petisi. Dengan alat ukur apa kita tahu bahwa cumadalam beberapa tahun elemen-elemen masyarakat itu kini tunduk angguksetuju dengan pembentukan Korem di Flores? Juga, ketika akhir tahun lalu rencana pembentukan Korem muncul lagi dan hendak dibangun di Moni, Ende, reaksi dan protes keras itu datang lagi.Api perlawanan itu membara, dahulu dan kini. Alasan-alasan yang dikemukakan seperti demi menjaga wilayah pulau-pulau kecil di sekitar NTTyang letaknya berdekatan dengan wilayah negara lain, ancaman dari Australia dan Timor Lorosae, juga kehadiran Korem akan memberikan keuntungan ekonomis bagi warga dipreteli guna melihat secara jelas manafakta, dan mana fiksi. Catatan khusus perlu dibuat tentang keuntungan ekonomis bagi warga yang diklaim melegitimasi kehadiran Korem di Flores. Kita tahu bahwa TNI diberi mandat untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara. Dan ini yangharus jadi alat ukur pokok eksistensi dan profesionalismenya; dia bukanlah sejenis Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) yang membantu uasaha-usaha produktif warga. Dalam soal ekonomi dan secara khusus bisnis, isu pokok yang selalu menjadi sorotan publik bukanlah keuntungan ekonomis bagi wargadimana suatu Korem berada tetapi gurita bisnis milik TNI. Kalau soal NTT yang akan dikonflikkan seperti Ambon dan Poso sebagaimana yang disinyalir oleh TNI baru-baru ini, terlepas dari alasan sinyalir itu nyata atau isapan jempol belaka, bukankah urusan ketertetiban dan keamanan warga itu adalah tanggung jawab aparat kepolisian, dan karenanya profesionalisme polisilah yang harus ditingkatkan? Mengapa tentara?Mengapa Korem? Apakah betul kehadiran tentara dalam jumlah banyak, dengan kulturnya seperti yang kita tahu selama ini, identik dengan terciptanya keamanan?Adanya pertanyaan-pertanyaan tadi bukanlah basis untuk menyimpulkan secara serampangan bahwa kita menolak apalagi mengolok-olok TNI. Tidak.Eksistensi TNI, dengan conditio sine quo non menjunjung tinggi HAM tentunya, dan pembentukan Korem di Flores itu adalah dua hal berbeda. Kitatak rela kalau di pulau kecil seluas cuma 14.000 km2 lebih ini ditempatkan tentara dalam jumlah sangat banyak tanpa urgensi kebutuhan nyata warga dan alasan-alasan yang sahih nalar. Apakah warga yang miskin, kekuarangan lahan dan sering didera rawan pangan ini membutuhkan Korem? Rasanya,orang-orang miskin itu bisa membedakan secara jelas apa yang mereka butuhkan antara tanah, pangan dan tentara.Tentu saja, tentang rencana pembentukan Korem di Flores, banyak keanehan dan pertanyaan belum terjawab. Seorang sahabat yang kini menjadi guest professor di Melbourne Australia ketika mengetahui bahwa sejumlah orang yang disebut tokoh masyarakat Nagekeo yang dipimpin oleh Kornelis Soi,anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan mendesak agar Korem segera dibuka di Nagekeo kepada danrem 161/Wirasakti di Kupang beberapa waktu yang lalu menulis: "Saya masih di Melbourne, tapi suka ikut perkembangan di Flores. Banyak unsur yang aneh. Misalnya, 14 pemuda Nagekeo minta supaya Korem didirikan di sana, dan langsung Kupang setuju.Seandainya 14 pastor dari Ledalero minta supaya Korem TIDAK didirikan diFlores, apakah Kupang akan dengar dan bertindak dengan begitu cepat?"Tak harus guest professor yang bisa bertanya seperti itu. Rupanya orang-orang di kampung kelahiran saya, di Wolosoko, Ende yang tak belajar ilmu nalar, juga merasakan keanehan dari pertunjukkan di Kupang itu.


Eman J. Embu SVD Sekretaris Eksekutif Candraditya Research Centre for the Study of Religionand Culture, Maumere, Flores; e-mail: emanembu@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar