Kompas, Selasa, 6 Januari 2009 07:40 WIB
SUNGGUH keterlaluan, rentang waktu 25-an tahun ternyata bikin sosok dan rupa orang menjadi kusut dan kisut. ”Masku sudah lima tahunan kena stroke karena hidupnya ngawur. Sekarang tidak aktif nyari dan dagang emas buddho lagi. Doakan saja,” ujar istri rekan yang menyebut Masku untuk suaminya.
Pertemuan bulan Agustus tahun lalu di desa kecil kawasan Mojokerto, Jawa Timur, semacam temu kangenan dengan narasumber lama. Masku yang nama samaran, tahun 1980 sampai 1990-an terkenal sebagai ”pedagang” emas Majapahit, secara hukum memang melanggar hukum, tetapi kok kebal ya. Padahal, Masku pernah mengaku sebagai salah satu bandar dan ”dalang” pencarian relik arkeologis, spesialis di situs kuno bekas Kerajaan Majapahit.
Bagi kolektor dan peneliti arkeologi, Masku itu narasumber paten dan tidak segan-segan memperlihatan hasil ”temuannya” berupa pecahan benda terakota, keramik china, dan terutama benda emas kuno. ”Di kalangan pedagang, emas galian itu kami sebut emas buddho, mungkin karena agamanya orang Mojopait ya,” begitu katanya waktu segar walafiat.
Pasaran emas dagangan Masku dihitung per gram dan selalu minimal lebih dari dua kali lipat harga emas toko. ”Emas cincin ini kadarnya 18 sampai 20 karat. Namun karena hiasannya bagus, harganya lima kali harga emas di toko,” begitu kira-kira kata Masku saat belum stroke.
”Saya bisnis karena permintaan pasar emas antik asal Jawa. Harganya tak pernah turun, tetapi kalau yang ini, cuma dua kali lipat. Namun, saya ragukan keasliannya, ini barang tembakan he-he,” ujarnya.
Masku tidak pernah menuturkan sindikat organisasi pencari emas buddho itu. Padahal, peneliti arkeologi lapangan suka senep melihat rombongan warga Trowulan sering sekali ramai-ramai menjadi tukang ngendang alias tukang gali dan pencari artefak arkeologis. Juga beberapa tahun lalu, pengendang itu tidak segan-segan masih menggali dan mengayak tanah dan lumpur di seputaran Kolam Segaran—kini proyek taman dan Pusat Informasi Majapahit (PIM).
Konon pada masa kejayaan Majapahit, Kolam Segaran itu tempat pesta foya-foyanya keluarga kerajaan. Gelas, pinggan, dan peralatan makan minum dari emas kalau sudah dipakai langsung dilemparkan ke tengah kolam. Makanya, pengendang yang mengobok-obok kolam itu mungkin berdoa menemukan bokor, baki, atau baskom emas buddho.
Sejarah emas pahit
Emas memang daya tarik, bukan zaman sekarang saja, tetapi sejak zadulnya Majapahit sudah merupakan patokan suatu kejayaan dan kekayaan. Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca tahun 1365 menyebutkan dalam beberapa pupuh, hal iring-iringan raja Majapahit yang menghias kereta dengan perhiasan emas.
Juga dalam setiap pesta besar, semua peralatan pesta dan perjamuan terbuat dari emas berhiaskan permata indah, termasuk kotak sirih pinang berbalut emas. John Miksic dalam bukunya, Old Javanese Gold (1989), juga mengutip syair pujangga Majapahit itu, khususnya soal perisai dan hulu keris emas sebagai hadiah penghargaan buat ksatrianya.
Emas memang logam luhur. Bukan hanya Majapahit, tetapi semua kerajaan kuno di Jawa mengagungkan pemanfaatan emas sebagai benda murni dan gengsi. Sebab, sejak lama, ada sebutan Suvarnadvipa yang arti harfiahnya ”Pulau Emas”. Kata ini berbeda dengan Javadvipa yang bermakna ”Pulau Makmur”. Meski ada kata ”java”, kata itu bukan asal muasal nama Pulau Jawa.
Mas Masku di zaman jaya-jayanya pernah memperlihatkan sekotak perhiasan emas cakep- cakep, berbentuk cincin, anting, gelang, bandul, cepuk, semacam kancing, butiran uang emas dan perak, cepuk, cawan, serta perhiasan logam kuning kemerahan emas lainnya. ”Barang ini dari Jawa Tengah dan situs di seputaran Jawa Timur, tidak semua dari Trowulan,” ujar Masku yang saat itu lagi deal business dengan antique dealer dan collector emas buddho dari Singapura.
Awal 1990, Masku juga membisniskan perhiasan emas temuan Situs Wonoboyo, Klaten, Jateng. Tidak segan-segan Masku pun memamerkan ratusan uang emas-perak sebesar jagung pipilan, cincin, cepuk, dan lainnya.
Profesor Doktor Mundardjito yang arkeolog UI, saat itu sempat bingung sedikit. Dia mengaku sejauh ini belum ada penelitian konsep asal muasal emas menjadi ”rajanya” logam mulia. Juga dunia penelitian arkeologi kuno Jawa sejauh ini belum pernah menemukan titik terang mana di mana asal usul pertambangan emas kuno, serta makna keanekaragaman seni- kriya perhiasan emas di wilayah Jawa.
Sejauh ini, catatan klasik hanya menyebutkan nun di arah timur India, ada lokasi yang didatangi saudagar India untuk membeli dan mencari chryse atau emas. Juga dalam peta kuno dalam kitab Geographike Hyphegenesis karya Claudius Ptolomeus buatan abad II Masehi agak jelas menyebutkan di timur India ada Chryse Chora atau Negeri Emas, serta Chryse Chenosenos atau Semenanjung Emas.
Namun, kitab kuno yang mencatat emas dan Jawa ada dalam kitab China yang menulis sejarah Jawa kuno antara abad VIII-IX Masehi. Sejarah T’ang Baru menulis: ”Raja Jawa mengenakan pakaian emas dan permata”. Lalu suatu kronik China bertarikh 992 menyebutkan, serombongan utusan tiba di China, membawa hadiah persembahan dari seorang Raja Jawa berupa: ”sebilah pedang pendek berhulu emas”, serta ”kain tenun benang emas”. Bahkan, ada tambahan kalimat, di antara rombongan utusan itu, ada orang mengenakan ”rantai emas melilit di leher, serta gelang emas di pergelangan tangannya”.
Soal uang emas juga tercatat dalam berita China bertarikh 1406, ketika sekitar 170 prajurit China yang terbunuh dalam ”perang saudara” di Majapahit. Lalu utusan Majapahit pun mendatangi China seraya membawa ”upeti maaf” senilai 60.000 tail emas. Sementara itu, pelaut Portugis, Tome Pires, melaporkan, pada tahun 1515 ”orang di Jawa itu sangat kaya raya, begitu makmurnya sampai-sampai kalung anjing pun dari emas”!
Emas, emas, emas, itu kata- kata sejak zaman Majapahit sampai zaman rada pahit. Emas buddho di zaman Masku bisnis emas ilegal katanya masih tetap dicari di seputaran situs kuno yang terus terang sulit dijaga dan dirawat.
Bahkan, kalau melihat sekilas peta pembangunan Gedung PIM, di sekitaran situs permukiman kuno Kerajaan Majapahit, wah rada-rada pahit.
Sebab, dari pengalaman serta informasi Mundardjito dan Masku, justru di situs itulah orang-orang sering menemukan benda arkeologis berharga.
Benda itu bernilai tinggi, khususnya bagi koleksi sejarah Nusantara. Namun, anehnya pembangunan ambisius PIM di situs tersebut justru tidak pedulikan kandungan ”isi lahan” di bawah proyek itu.
Kalau Masku cs pernah menggali liar, kini orang proyek PIM menggali resmi, tetapi sama-sama merusak dan menghilangkan bukti kebesaran sejarah Majapahit.
Ah pahit!
(Rudy Badil Wartawan Senior di Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar