Selasa, 01 April 2008

Koli Sagu : Adatku Gerejaku


Penulis : Fredy Parera, SVD ::18 Maret 2008 1:49 WIB (www.enterflores.com)

Koli sagu, bukit indah permai memanjang hijau dengan kelebatan hutan nyiur, membuat setiap mata tak jemu-jemu memandangnya. Siapa saja yang mendengar nama Koli, ingatannya langsung pada firdaus tanaman komoditi seperti kelapa, mente, kemiri, kakao, vanili dan pinang. Tanah Koli ibarat setiap benih yang jatuh pasti akan menjadi tanaman yang menghasilkan buah. Begitu juga nama Sagu, orang akan membayangkan kerajaan tempoe doloe yang masih menyisakan bangunan-bangunan tua walaupun kurang terawat, atau dengan pasar ikan yang hampir tak kenal sepi di waktu pagi dan siang. Paroki Santo Tarcisius Koli Sagu menyimpan sejuta pesona bagi siapa saja yang pernah menapak di sana. Maka betullah kalau istilah ’Dompet’ : Doan Oneg Sama Peten (jauh dirindu dekat disayang) kan selalu menebari setiap insan yang mampir di sana. Namun, menjadi kebingungan bagi setiap orang asing adalah mengapa firdaus ini harus ditinggalkan oleh bangsa pribuminya ke negeri yang jauh di Malaysia, Singapura, Hongkong atau Kalimantan dan Batam? Dan, satu lagi, mengapa pastoral perkawinan dirasakan cukup gagal? Ada apa dengan Koli Sagu?


Paroki mandiri
Paroki Santo Tarcisius Koli Sagu adalah salah satu paroki yang berada di Keuskupan Larantuka. Paroki ini berdiri pada 25 Februari 1995. Berdasarkan SK Uskup, paroki ini diserahkan kepada Imam Serikat Sabda Allah, sehingga diberi nama : Paroki SVD St. Tarcisius Koli Sagu. Sebelum menjadi paroki, Koli Sagu merupakan bagi dari Paroki Hingga. Paroki Koli Sagu memiliki enam buah stasi, yakni Kolilanang, Kolimasang, Titatukang, Lamahoda, Lolok, dan Sagu. Demi mengefektifkan pelayanan pastoral dan hayat iman menuju motto ”Paroki Mandiri : Sakramen Keselamatan yang Misioner”, mereka membentuk Komunitas Basis Gerejani (KBG) menurut teritori sebanyak 44 buah. Masing-masing KBG terdiri dari 17-30 buah kepala keluarga. KBG memungkinkan hidupnya tujuh bidang pendampingan pastoral, yakni, liturgi, pewartaan, bimbingan dan penyuluhan, keuangan dan pembangunan, sosial ekonomi, pemantapan KBG dan pemberdayaan perempuan secara mutual dan kontekstual.
Semua stasi bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan besar baik roda empat maupun roda enam. Jarak antarstasi yang tidak lebih dari satu kilometer memudahkan umat untuk saling berinteraksi. Umat seringkali menempuh jalan kaki untuk mengikuti misa atau pertemuan di stasi pusat, juga tidak menutup kemungkinan bagi kedua gembalanya kalau misa di stasi lain. Kini, paroki ini dilayani oleh dua imam Allah, Pater Herman Sina, SVD sebagai pastor kepala dan Pater Gorgonius Rony Guntur, SVD.


Bangsa perantau
Masyarakat Adonara dikenal sebagai bangsa perantau. Jangan heran jika sewaktu-waktu pembaca ke sana, cobalah menyempatkan waktu ke sekolah-sekolah dasar. Di sana, anda akan menemukan bahwa sebagian besar anak ternyata lahir di luar negeri. Boleh dikatakan bahwa perantauan sudah mendarah daging. Bukan seorang anak Adonara jika belum merantau. Mengapa perantauan sudah begitu membudaya? Secara kasat mata salah satu penyebab adalah demi perbaikan ekonomi. Tetapi, bila ditelisik lebih jauh, sebetulnya perantauan adalah sebuah mentalitas dan efek. Dikatakan mentalitas karena meratantau adalah bagian dari hidup masyarakat. Orang beramai-ramai merantau. Perantauan tidak mengenal jenis kelamin atau status sudah menikah atau belum. Yang penting, merantau dulu.
Fakta sosial membuktikan bahwa tidak semua perantau itu sukses jika bale nagi atau pulang kampung. Memang ada yang sukses. Anak bisa disekolahkan. Rumah bisa dibangun. Utang karena belis (mas kawin) bisa terbayar. Namun, dibalik itu hidup merantau bukan sesuatu yang gampang. Barangkali lukisan kegagalan akan tampak terasa lebih luas memilukan dibanding keindahan hayat hidup yang dikonsepkan. Keresahan yang memilukan itu terjadi ketika mereka harus menemukan diri sebagai orang asing karena ketiadaan rumah, lahan yang semakin sempit karena sudah dijual separuh dan pemukiman yang kian mempersempit areal pertanian, utang yang belum terbayar karena pinjaman untuk pergi merantau dengan bunga dua kali lipat per tahun bahkan ketiadaan lahan karena dijual untuk modal merantau.
Perantauan juga bisa disebut sebagai efek karena status sosial memungkinkan seseorang untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Ini biasa terjadi karena anak-anak yang lahir dengan kondisi budaya yang mempatenkan mereka sebagai yang tak berhak. Anak-anak yang yang tak berhak ini dikondisi-sosial-kan sebagai yang tak berpunya. Mereka adalah kaum perempuan atau anak-anak yang lahir bukan dari rahim isteri pertama. Mereka-mereka ini tidak kebagian jatah warisan dari sang ayah atau suku. Akibat sebagai yang tak berpunya, memaksa mereka untuk menjadi perantau. Bisa kita bayangkan jika itu adalah seorang perempuan dan hidup tak bersuami. Tentu bukan main susahnya. Ia harus mengendus nasibnya di tengah budaya yang sekian ketat membalut hidupnya. Maka perantauan adalah komitmen wajib dari nasib yang demikian.
Menghadapi nasib yang demikian, paroki mencoba memberikan solusi. Salah satunya adalah mendirikan usaha simpan pinjam atau semacam Credit Union (CU). Alhasil, tidak mengecewakan. Banyak orang yang tertolong dan membuat mereka untuk hidup mandiri. Hidup tidak menikah, kini tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan jika sudah bisa memiliki usaha sendiri seperti yang terjadi pada beberapa anggota CU. Memang belum semua umat membaca peluang ini, tetapi setidak-tidaknya paroki sudah menjawab parmasalahan ini.
Akibat lanjut dari perantauan ini, Gereja dipusingkan tujuh keliling dengan soal pendataan umat. Bagaimana bisa mendata umat sementara kehadirannya seperti senin-kamis. Minggu ini atau dalam bulan ini, katakan saja si anu ada, tetapi pada minggu atau bulan berikutnya kita tidak tahu sampai kapan yang bersangkutan pulang. Bisa saja pulang tapi bisa saja tidak pulang-pulang. Repot! Meski demikian, Pater Herman yang sungguh kebapakan ini tetap mencari anak-anaknya. Supaya umatnya merasa tidak dilupakan, sang bapak dengan modal kembung-kempis mencoba menyurati anak-anaknya dengan membuat buletin bulanan dengan nama SN ”Soga Naran”. Ini merupakan surat cinta pastoral yang paling mujarab. Buktinya, pada buletin SN ada kolom bagi anak-anak untuk membuatkan puisi. Biasanya puisi anak-anak tak lain dan tak bukan berisikan kerinduan sang anak untuk berkumpul bersama keluarga. Sederhana tetapi menusuk kalbu pembaca. Ada banyak dampak positif. Mereka yang sudah lama meninggalkan keluarga, teringat akan isteri dan anak atau suami dan anak, mau pulang kampung juga atau tetap setia mengirim uang buat keluarga. Bahkan sang orangtua, jauh-jauh dari Malaysia, Singapura atau Hongkong hanya untuk mendampingi sang anak saat menerima komuni pertama.


Adatku gerejaku: dilema sebuah pastoral
Masyarakat Koli Sagu umumnya sangat kuat dengan adat. Salah satu adat yang paling kuat sekaligus menjadi dilema bagi para agen pastoral adalah soal perkawinan. Masalah perkawinan menjadi masalah yang paling pelik. Akan menjadi kendala bagi agen pastoral yang baru bertugas di sana dalam merekomendasikan perkawinan bagi umat. Imam yang mau memberikan sakramen perkawinan kepada setiap pasangan hendaknya sangat jeli dalam proses penyelidikan sampai pasangan yang bersangkutan dinyatakan layak untuk menerima sakramen perkawinan. Tidak heran, sekalipun ada diakon yang bertugas di paroki dan mendapatkan yurisdiksi dari uskup, tetapi diminta untuk tidak memberikan status liber sekalipun pastor paroki tidak berada di tempat. Ini adalah pilihan terbaik.
Mengapa? Adat yang begitu kuat mengakar menempatkan Gereja seakan-akan harus tunduk kepada adat. Sebagai contoh, menikah secara sakramental itu penting , tetapi hampir pada umumnya sudah terselesaikan. Karena itu, simbol-simbol liturgi perkawinan seperti membuka kerudung perempuan pralambang hak atas keperawanan, jarang terjadi. Umumnya, mereka yang menerima sakramen perkawinan, sebelumnya sudah hidup bersama-sama bahkan sudah memiliki anak.
Salah satu bentuk adat yang paling kuat dan dominan adalah belis. Belis atau mas kawin biasanya ditakar dengan gading. Gading ini harus diserahkan pihak keluarga pria atau suami kepada kepada pihak keluarga perempuan atau isteri. Besarnya belis atau jumlah gading disesuaikan menurut belis sang ibu. Kalau dulu belis sang ibu tiga gading maka demikian juga sang anak. Ikatan kekerabatan begitu kuat ketika mereka hidup berdasarkan suku. Suku A akan mengambil isteri di luar sukunya dan gading sebagai belis akan menjadi hak suku. Bisa terjadi bahwa keinginan untuk menikah bukan karena diawali oleh cinta yang bersangkutan, tetapi karena kemauan keluarga atau suku supaya mendapatkan pasangan sebagaimana diinginkan. Dan, biasanya lebih untuk mendapatkan gading.
Selain itu, masalah poligami dan poliandri juga cukup marak. Selain belis, poligami juga disebabkan oleh faktor perantauan. Masyarakat pada umumnya pernah mengalami perantauan dan bahkan banyak anak yang lahir di perantauan. Perkaranya, mungkin saja di perantauan mereka sudah memiliki pasangan hidup dan ketika ke kampung mereka juga memiliki pasangan baru lagi. Atau kasus lain, mereka bisa saja sudah menikah secara sakramental, tetapi karena tuntutan ekonomi, suami atau isteri terpaksa harus pergi merantau. Di sana, mereka hidup bersama sebagai suami-isteri sekalipun mungkin sudah tahu satu sama lain bahwa mereka sudah punya pasangan hidup yang ditinggalkan di kampung halaman. Namun, bila ditilikan berdasarkan adat, poligami atau poliandri bukan masalah, yang penting bisa diselesaikan secara adat, yakni pihak pria memenuhi kewajibannya dengan membayar belis kepada pihak perempuan, selesai dan habis perkara.
Menghadapi kenyataan adat yang membelenggu pastoral ini, Gereja mengambil sikap tegas dalam melayani umat secara sakramental. Gereja juga berusaha secara terus-menerus memberikan katekese untuk membangun kesadaran umat tentang Gereja sebagai sakramen keselamatan. Hasilnya, sekalipun umat merasa tidak layak untuk menerima sakramen karena terlanjur diikat adat, namun mereka tetap setia untuk mengikuti misa harian. Bahkan, mereka sangat berperan besar dalam menghidupi KBG atau dipercaya oleh umat dan bersedia untuk menjadi pemimpin. Kepada mereka, Tuang Herman selalu meneguhkan kawanannya : ”aturan mewajibkan saya untuk tidak memberikan pelayanan sakramental kepada ama-ina*, (*ama-ina : sapaan kesayangan untuk pria dan wanita). Tetapi, percayalah, kerinduan dan kesetiaan anda yang luhur ini menjadi tanda bahwa Allah tetap mencintai ama-ina supaya selamat”.


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kana 001 Tahun 3-Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar