Selasa, 01 April 2008

Mbeliling Elok Terancam Pembabatan Liar


Penulis : -admin ::31 Maret 2008 3:12 WIB (www.enterflores.com)

Apa jadinya bila hutan sebagai tandon air hancur centang-perenang dan ribuan pohon meranggas mendekati ajal ? Jelas persediaan air akan berkurang. Padahal air adalah kebutuhan mendasar bagi umat manusia. Apa jadinya bila lingkungan di sekitar terancam kekeringan tanpa air? Rentetan pertanyaan tersebut membayangi-bayangi masyarakat dan kondisi hutan dataran rendah Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Beberapa waktu lalu, penulis bersama beberapa staf Burung Indonesia dan kolega dari DOF, Denmark melakukan perjalanan di kawasan hutan Mbeliling. Sebuah pemandangan cukup tragis terjadi di kawasan Puarlolo, bagian hutan Mbeliling yang berdekatan dengan pemancar relay Telkom Labuan Bajo serta paling mudah diakses dari jalan raya Trans Flores. Pepohonan rindang yang seharusnya menjadi rumah nyaman bagi tiga jenis burung endemik Flores, terlihat mulai dirambah dan ditebangi secara ilegal oleh beberapa oknum warga sekitar. Ketiga jenis burung endemik Flores yang terancam punah dan bisa dijumpai di Puarlolo adalah, Kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), Serindit Flores (Loriculus flosculus) dan Gagak flores (Corvus florensis).
“Hutan Mbeliling di bagian Puarlolo ini seharusnya dijaga masyarakat bukannya ditebangi, karena menjadi sumber mata air bagi masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat. Kalau pembabatan liar dibiarkan terus menerus hilanglah hutan dan air di sini,” kata Karell, warga Desa Liang Dara yang menyertai rombongan Burung Indonesia.
Kawasan Puarlolo bila diamati dari luar memang terlihat masih rimbun kehijauan. Namun kondisi tersebut jauh berbeda bila melangkahkan kaki masuki hutan lebih dalam. Tim Burung Indonesia sempat menjumpai, beberapa perambah hutan sambil menenteng parang hilir mudik di wilayah lindung tersebut. Pada sebuah jalan setapak menuju mata air Woval yang kiri kanannya masih ditumbuhi rumput, tergeletak potongan-potongan kayu hasil tebangan.
Ancaman perambahan dan kerusakan hutan Mbeliling juga dikuatirkan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat, Drs. Edward, SE, MM. “Kondisi hutan Mbeliling saat ini cukup mencemaskan. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat sekitar yang tak segan merambah hutan mereka sendiri. Problem ini semakin bertambah karena belum ada ketegasan dari aparat keamanan untuk menindak para pencuri kayu”
Edward mengakui, bila hanya mengandalkan instansi yang dia komandoi untuk menjaga hutan terasa cukup sulit. Apa pasalnya, Dinas Kehutanan Manggarai Barat belum memiliki Polisi Hutan (Polhut) serta minimnya sarana dan prasarana. Baru tahun 2008 ini, Dinas Kehutanan berencana merekrut 20 orang Polhut dan akan ditempatkan di daerah strategis serta rawan pembalakan hutan.
“Sebelum terbentuk satuan Polisi Hutan, saat ini butuh law enforcement kuat dari aparat keamanan yang ada. Agar timbul efek jera bagi perambah hutan,” tegas Edward.
Kawasan Konservasi
Kawasan Mbeliling dan Sano Nggoang berperan sebagai tempat perlindungan bagi tumbuh-tumbuhan endemik dan spesies-spesies burung yang khas. Beberapa spesies diketahui memiliki hubungan dengan spesies di Kalimantan, Filipina, dan Irian di masa lalu. Lebih dari 20 spesies tumbuhan baru telah dideskripsikan berdasarkan koleksi dari Mbeliling.
Hingga saat ini spesies-spesies tumbuhan tersebut hanya dijumpai di kawasan ini, termasuk perwakilan dari marga-marga baru untuk Nusa Tenggara (Urobotrya florensis dan Sympetalandra schmutzii) dan beberapa spesies pohon (Helicia sp. dan Ternstroemia sp.) serta beberapa spesies anggrek (Corybas sp. dan Coelogyme sp.) yang belum dapat dideskripsikan.
Beragam spesies tumbuhan ini menggambarkan beberapa pengetahuan yang unik mengenai proses evolusi dan biogeografi di Asia Tenggara, diantaranya merupakan bukti adanya hubungan dengan Kalimantan, Filipina, dan Irian di masa lalu.
Di Flores ada hubungan antara pola endemisitas tumbuhan dan kekhasan burung, contoh terbaik dijumpai di hutan Mbeliling. Dibandingkan kawasan konservasi lainnya di Flores, Mbeliling memiliki jumlah tertinggi untuk spesies burung yang memiliki arti penting bagi konservasi. Jumlah ini mencakup tiga dari empat spesies endemik dan 17 dari 20 spesies burung penting lainnya.
Saat ini status hutan dataran rendah Mbeliling (600-1.000 m) meliputi Hutan Lindung (72,4 km²), Hutan Konversi (41,8 km²), dan Hutan Produksi terbatas (120 km²). Mbeliling merupakan ‘rumah’ terpenting bagi burung-burung yang menjadi perhatian konservasi di Flores. Hutan yang luasnya semakin berkurang atau terdegradasi mengancam sebagian besar jenis burung-burung sebaran terbatas.
Ular buta (Typhlops schmutzii) diketahui hanya terdapat di Pulau Komodo, Flores barat termasuk hutan Mbeliling. Sungai Wai Tiunga mendukung beberapa populasi buaya muara yang secara global terancam punah. Daerah hulu sungai ini berada di pegunungan Mbeliling. Gua-gua di sekitar Dhalong mendukung beberapa populasi besar kelelawar pemakan serangga. Satu dari tikus endemik Flores, yaitu Tikus raksasa Flores hidup di kawasan Mbeliling.
Mbeliling dan Sano Nggoang memiliki sejarah penelitian yang penting dengan banyak informasi dasar mengenai tumbuh-tumbuhan, status dan kelimpahan relatif burung, penelitian malaria, dan pemanfaatan tradisional terhadap tumbuh-tumbuhan.
Beberapa ancaman terhadap hutan adalah rencana konversi dari habitat hutan bertajuk rapat beralih fungsi menjadi Hutan Tanaman Industri, menjadi perkebunan, pembangunan jalan, penebangan kayu liar serta perambahan hutan. Saat ini tidak ada ijin pengambilan kayu di kawasan hutan Mbeliling.
Labuan Bajo Aset Pariwisata
Hutan Mbeliling sebagai kawasan lindung dan daerah resapan air memiliki posisi penting dalam kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat sekitar. Labuan Bajo sebagai ibukota Kabupaten Manggarai Barat yang berada di lokasi bawah Mbeliling memiliki peran penting bagi pariwisata. Bagaimana tidak, mayoritas wisatawan baik dari dalam maupun manca negara yang ingin melihat secara langsung habitat hewan purbakala, Komodo biasanya transit di bandara Komodo dan bermalam di seputar Labuan Bajo. Selain berkunjung ke Pulau Komodo ataupun Pulau Rinca, para wisatawan acapkali juga menikmati keindahan bawah Laut Flores melalui aktivitas olahraga air seperti diving dan snorkling.
Pasokan dan kebutuhan air bersih bagi masyarakat Labuan Bajo, sebagian besar diambil dari hutan Mbeliling. Dapat dibayangkan, bagaimana jadinya roda pariwisata di sana bila hutan Mbeliling dihajar perambahan dan perusakan. Bisa jadi, tempat penginapan yang tumbuh menjamur di pinggir pantai Labuan Bajo akan sepi penghuni.
“Situasi ini seharusnya dipahami masyarakat yang hidup di sekitar hutan Mbeliling. Hutan harus dijaga jangan diekspolitasi terus-menerus dengan menebangi pepohonan. Apa jadinya kalau hutan satu-satunya yang kita miliki ini hancur oleh kelalaian kita sendiri,” kata aktivis Yayasan Komodo untuk Indonesia Lestari (Yakines), Gabriella Uran.
Menurut perempuan yang akrab disapa Ibu Ella itu, seluruh komponen masyarakat di Manggarai Barat harus terlibat dalam perlindungan hutan Mbeliling. Akan sulit terlaksana niatan konservasi, bila elemen masyarakat berjalan sendiri. “Pemerintah, Tua Adat, pemuka agama dan organisasi masyarakat sipil harus bisa bekerja sama untuk menghasilkan satu kesepakatan tentang pengelolaan hutan Mbeliling secara berkelanjutan”
Misionaris dan Konservasi
Siapa menyangka bila danau terbesar di Kepulauan Flores justru berada dalam wilayah administratif Kabupaten Manggarai Barat. Danau yang dikepung kehijauan hutan Mbeliling ini bernama Sano Nggoang. Dalam bahasa lokal ‘Sano’ berarti danau. Sepanjang perjalanan menuju Sano Nggoang, sekali tempo terlihat beberapa ekor burung Srigunting wallacea (Wallacean dronggo) bertengger pada sebuah pohon.
Bila kita telah sampai di Sano Nggoang, dengan mudah akan menjumpai sumber mata air panas alami yang tak pernah berhenti mengalir. Bila sedang beruntung, kedatangan wisatawan ke danau tersebut akan disambut serombongan Itik gunung (Anas superciliosa) yang sedang berenang di pinggiran. Seorang rohaniawan Katholik berkebangsaan Jerman bernama Erwin Schmutz dari tahun 1963 hingga 1985 pernah tinggal di Dusun Nunang, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang.
Selain sebagai pemuka agama, warga Manggarai Barat juga mengenal sosok Pater Erwin yang mendedikasikan hidupnya bagi konservasi lingkungan hidup Mbeliling. Kenangan membekas nasehat agar selalu menghargai alam itu diakui oleh Servatius Senaman. Bapak lima orang anak dan Kepala Desa wae Sano itu selama 15 tahun menjadi asisten Pater Erwin.
“Waktu tinggal di sini, Bapak Tua banyak menanam pohon Murbai yang disukai burung karena menjadi sumber pakan. Persis di depan kapel pinggir danau sampai ke rumah saya ini, dahulu tumbuh bermacam bunga-bungaan. Bila pohon Murbai berbuah dan bunga-bunga bermekaran suasananya seperti di surga,” kenang Servat yang sejak remaja memanggil Pater Erwin dengan sebutan Bapak Tua.
Apa yang diutarakan Servat bukan isapan jempol belaka. Ketika penulis keluar dari rumahnya dan mengarahkan binokuler ke pucuk pohon murbai, di sana terlihat kurang lebih lima ekor burung Tiong emas (Gracula religiosa) sedang mematuk-matuk buah murbai.
Dedikasi Pater Erwin, menurut Servat, terlihat bila sedang mendaki gunung untuk mengumpulkan tumbuhan bahan penelitian. Rohaniawan itu selalu mengingatkan jika berjalan di gunung jangan sampai merusak semak dan pohon. “Pertengahan tahun delapan puluhan, karena sering sakit Bapak Tua kembali ke Jerman. Sekarang hampir tak ada lagi orang yang begitu besar rasa cintanya kepada lingkungan hidup seperti Bapak Tua,” kata Servat
Servat memang pantas prihatin bila menyaksikan hutan Mbeliling yang perlahan mengalami degradasi. Sepertinya, butuh Bapak Tua-Bapak Tua baru di Manggarai Barat...
(Praminto Moehayat/Burung Indonesia)
Sumber : http://www.burung.org/detail_txt.php?op=article&id=45

4 komentar:

  1. kae, mari gabung ke http://seminarimataloko-ledalero.blogspot.com

    BalasHapus
  2. TEMAN MARSI TOLONG KIRIM ALAMAT EMAILNYA DI GOOGLE. TRIMS

    BalasHapus
  3. Salam kenal ari Marsi. Jao ata Lomba, pero ko'o eja ko'o Bapak Philipus Bhai(Kepala Mere).Jao sena kau buka nee baca tanagekeo.wordpress.com
    Jao wengi pira ridi Mataloko.Negha ke mena Ledalero.

    BalasHapus
  4. Terima kasih Atakeo Te. Ngao keluarga dekat nee Bapa Kepala Mere Bha'i. Kami dia Bandung sering kumpul dia sao ka Udis SoO (ana koo Bapa Kepala Mere). Ngao teman seangkatan Rm. Eman Nuwa, MSF, mogha nee Nandus Nggajo /Jakarta. Ngao sering kontak Nandus & Om Albert Jata/Kayumanis. Molo, Salam woso untuk semua.

    BalasHapus